oleh

PERPUU KPK

(Perspektif Konstitusi)

Oleh : HENDRA KASIM

Direktur Eksekutif PANDECTA (Perkumpulan Demokrasi Konstitusional)/ Advokat & Legal Consultant

Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bersama pula rencana perubahan beberapa UU lainnya, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pertanahan dan Lembaga Permasyarakatan memancing reaksi publik. Atas legal policy terebut, mahasiswa di berbagai daerah turun jalan.

Pada kesempatan ini, penulis hendak membahas mengenai revisi UU KPK yang sudah disahkan khusus mengenai discursus publik yang meminta Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undang (Perpuu).

Filosofis Perpuu

Sistem pemerintahan presidensil menempatkan puncak kekuasaan ditangan Presiden sebagai single executive. Posisi Presiden semakin kuat karena dalam presidensialism system, Kepala Negara dipilih melalui pemilihan langsung. Dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) itulah, Presiden mendapatkan mandat dari pemegang kedaulatan.

Check and balances dalam presidensialism system menghendaki adanya pengawasan terhadap kekuasaan Presiden yang begitu besar. Hal tersebut sejalan dengan semangat constitusinalism yang menghendaki pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan.

Pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) adalah melalui mekanisme pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden. Pembahasan secara bersama ini dimaksudkan untuk memastikan norma yang hendak diundangkan mencerminkan peraturan perundang-undangan yang bercorak responsif bukan ortodoks.

Pembahasan bersama antara DPR dengan Presiden berkonsekuensi pada pembentukan peraturan perundang-undangan yang membutuhkan waktu cukup lama. Sementara itu, dinamika masyarakat sering kali berkembang jauh lebih cepat dari norma hukum positif yang berlaku.

Perkembangan masyarakat yang begitu cepat, menyebabkan terjadinya recht vaccum. Dalam negara hukum yang menempatkan hukum sebagai rule of the game, sebisa mungkin recht vacuum dihindari. Untuk menghindarinya, Presiden sebagai single executive yang sekaligus merupakan penanggungjawab jalannya roda negara, diberikan kewenangan untuk menerbitkan Perpuu.

Sifat istimewa perppu selain kewenangan yang dilekatkan kepada head of state, dapat diterbitkan tanpa pembahasan bersama dengan cabang kekuasaan legislative, sehingga waktu yang digunakan relatif lebih cepat dari pembentukan peraturan perundang-undangan melalui usual procedure.

Kegentingan Memaksa

Berlandaskan landasan filosofis tersebut, konstitusi Indonesia memberikan kewenangan kepada Presiden untuk dapat menerbitkan Perpuu, tepatnya diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945.

Constitutional authority Presiden berdasarkan atribusi dari konstitusi bukan tanpa pembatasan. Paling tidak konstitusi memberikan dua pembatasan, yakni pembatasan pertama ikhwal kegentingan memaksa dan pembatasan kedua ikhwal persetujuan dari DPR. Jika Perpuu yang diterbitkan Presiden tidak mendapatkan persetujuan dari DPR maka Perpuu tersebut harus di cabut.

Masalah mendasar dari Perpuu adalah tafsir kegentingan memaksa. Kegentingan memaksa sangat mungkin ditafsir secara subjektif oleh Presiden sebagai jabatan yang memiliki kewenangan menerbitkan perpuu. Untuk menghindari tafsir subjektif kegentingan memaksa, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan to guard and to interpretation constitution telah memberikan rafsir konstitusional mengenai maksud konstitusi atas kalimat kegentingan memaksa.

MK dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009 memberikan tiga syarat untuk suatu keadaan dinyatakan kegentingan yang memaksa, yaitu (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (ii) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau UU-nya telah ada namun tidak memadahi; dan (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat di atasi dengan cara pembentukan UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dorongan publik yang mendorong Presiden menerbitkan Perpuu apakah telah memenuhi tiga syarat tersebut ? menurut penulis telah memenuhi. Pertama mengenai syarat adanya keadaan yang mendesak sehingga membutuhkan penyelesaian hukum secara cepat. Terhadap unsur pertama, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa diberbagai daerah serta kebutuhan pemberantasan korupsi ditengah penilaian dan fakta materi revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melemahkan KPK merupakan keadaan yang mendesak untuk segera diselesaikan oleh Presiden.

Unsur kedua mengenai recht vacuum atau telah ada UU-nya namun tidak memadahi, juga telah terpenuhi. Revisi UU KPK telah disahkan, berarti UU telah ada. Namun, sebagian materi yang melemahkan KPK menjelaskan bahwa telah ada UU namun tidak memadahi. Unsur ketiga mengenai tidak dapat diselesaikan melalui prosedur normal karena membutuhkan waktu yang lebih cepat, pasti demikian. Masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 tinggal beberapa hari, tidak mungkin UU yang baru disahkan DPR dibahas kembali dalam waktu yang cepat pula.

Fakta Sosiologis

Dorongan publik kepada Presiden untuk menerbitkan Perpuu bukan pertama kali. Diakhir tahun 2014 sebelum pelaksanaan Pemilu, mekanisme pemilihan Kepala Daerah diwacanakan untuk kembali dilakukan melalui sistem perwakilan. Terhadap kehendak DPR tersebut, penolakan publik massif terjadi. Pemilihan melalui perwakilan dianggap tidak mencerminkan iklim demokrasi di tingkat lokal. Meskipun mendapatkan penolakan yang cukup kuat, DPR setelah melalui pembahasan bersama dengan pemerintah, UU 22/2014 yang isinya adalah mengatur pemilihan Kepala Daerah melalui sistem perwakilan tetap disahkan.

Publik mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menerbitkan Perpuu guna menyelematkan demokrasi lokal cukup massif pada waktu itu. Akhirnya, UU 22/2014 tidak berumur panjang. Setelah disahkan pada 30 September 2014, 2 (dua) hari kemudian Presiden SBY menerbitkan Perpuu 1/2014 tertanggal 2 Oktober 2014.

Catatan diterbitkannya Perpuu tidak hanya pada massa Pemerintah SBY. Presiden Jokowi pada tahun 2017 juga menerbitkan Perpuu 2/2017 yang lebih dikenal dengan Perpuu Ormas. Waktu itu, tanpa ada standar kegentingan yang memaksa, sebagian kalangan berpendapat justru terlihat politis hanya untuk membubarkan salah satu ormas yang lantang melawan status quo Presiden menerbitkan Prepuu Ormas tertanggal 10 Juli 2017.

Closing Statement

Fakta sosiologis keadaan mendesak hari ini, seharusnya Presiden sebagai Head of State lebih mudah tanpa beban menggunakan constitutional authority menerbitkan Pepuu KPK sebagai bentuk komitmen Presiden memenuhi janji sebagai panglima pemberantasan korupsi di Indonesia.[]

Bagikan

Komentar