oleh

IMPEACHMENT PRESIDEN (Meluruskan Pemahaman)

Oleh : HENDRA KASIM

Direktur Eksekutif PANDECTA (Perkumpulan Demokrasi Konstitusional/ Advokat & Legal Consultant

Akhir-akhir ini, wacana kemungkinan Presiden Jokowi di impeach mengemuka. Suaranya semakin kencang setelah ikhwal pemakzulan Presiden disampaikan oleh salah satu Ketua Umum Partai Politik. Tidak main-main, “ancaman” tersebut disampaikan dengan serius jika Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppuu) mengenai Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Pada kesempatan ini, penulis hendak membahas seputar Pemberhentian Presiden dalam konstitusi Indonesia karena pada tahun 2015 silam, Penulis telah menerbitkan buku yang bersumber dari Tesis saat menempuh study strata dua di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dengan judul Impeachment Presiden. Sebab itu, sedikit banyak ikhwal mengenai syarat dan tata cara pemberhentian Presiden di Indonesia cukup diketahui oleh Penulis dan telah melalui uji akademik.

Nilai Konstitusionalitas Perppuu

Perppuu merupakan hak prerogatif Presiden yang bersumber langsung dari konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Sebagai hak konstitusional Presiden, menerbitkan Perppuu maupun tidak, posisi Presiden sama konstitusionalnya. Jika menerbitkan Perppuu, nilai konstitusionalitasnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Andaipun tidak menerbitkan Perppuu, memiliki kadar konstitusi yang sama. Karena, Perppuu sebagai kewenangan subjektif yang dimiliki oleh Presiden, maka tidak digunakanpun merupakan tindakan yang konstitusional.

Sebagai kewenangan yang melekat pada jabatan Presiden, Perppuu sejak awal mengandung unsur subjektifitas. Syarat “kegentingan yang memaksa” merupakan syarat subjektif. Untuk memastikan syarat subjektif yang diberikan konstitusi kepada Presiden dapat terkontrol, paling tidak ada dua mekanisme kontrol.

Pertama; syarat materil. Yang dimaksud dengan syarat materil adalah constitutional criteria dari kegentingan memaksa. Hal ini dapat dijumpai dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 memberikan tiga syarat untuk suatu keadaan dinyatakan kegentingan yang memaksa, yaitu (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (ii) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau UU-nya telah ada namun tidak memadahi; dan (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat di atasi dengan cara pembentukan UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Kedua; syarat formil. Yang dimaksud dengan syarat formil adalah proses objektifikasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perppuu yang diterbitkan oleh Presiden akan di bahas DPR pada masa sidang setelah Perppuu diterbitkan. Jika DPR tidak menyetujui materi Perppuu, harus dibatalkan.

Ikhwal Impeachment Presiden

Discursus mengenai Perppuu kembali mengemuka ketika publik terbelah menjadi dua dalam menyikapi revisi UU KPK. Kelompok pertama mendorong Presiden menerbitkan Perppuu, sedangkan kelompok kedua menganggap bahwa Presiden tidak perlu menerbitkan Perppu namun lebih tepatnya melalui mekanisme Judicial Review. Belakangan, kelompok kedua mengembangkan diskursus jika Presiden menerbitkan Preppuu maka sangat mungkin Presiden diberhentikan di tengah jalan.

History of Indonesian state administration mencatat paling tidak ada dua kali pemberhentian Presiden, yaitu Pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Singkat cerita, kedua Presiden tersebut diberhentikan dengan alasan politis. Padahal, dalam presidential system, masa jabatan Presiden adalah fix term, meskipun begitu dapat diberhentikan dengan alasan konstitusional/alasan hukum.

Belajar dari sejarah pemberhentian dua Presiden tersebut, saat amandemen salah satu desain ketatanegaraan yang diatur adalah mekanisme Pemberhentian Presiden. Hal tersebut merupakan salah satu konsistensi legal policy meakukan purifikasi presidential system.

Tidak hanya mekanisme formil yang harus dilewati jika seorang Presiden hendak dimakzulkan. Namun, alasan konstitusional seorang Presiden dapat diberhentikan juga diatur konstitusi. Mengenai mekanisme formil pemberhentian Presiden diatur dalam Pasal 7B kosntitusi, sedangkan alasan konstitusional pemberhentian Presiden diatur dalam Pasal 7A konstitusi.

Seorang Presiden dapat diberhentikan bila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa (i) pengkhianatan terhadap negara, (ii) korupsi, (iii) penyuapan, (iv) tindak pidana berat lainnya, atau (v) perbuatan tercela maupun (vi) apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Terhadap enam alasan konstitusional seorang Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya, kaitannya dengan Presiden menerbitkan atau tidak menerbitkan Perppuu, tentu tidak memiliki kaitan hukum. Karena, Perppuu dalam perspektif falsafah konstitusi adalah hak Presiden yang baik digunakan maupun tidak digunakan memiliki kadar konstitusi yang sama. Maka, menerbitkan Perppuu bukan perbuatan melawan hukum apalagi melanggar hukum. Sebab itu, wacana Presiden dapat diberhentikan jika menerbitkan Perppuu adalah wacana tanpa dasar konstitusional.

Closing Statement

Publik terbelah dua dalam menyikapi revisi UU KPK, ada kelompok yang mendorong Presiden menerbitkan Perppuu, ada pula yang mendorong untuk mengetuk pintu MK, yang berkembang menyatakan Presiden dapat diberhentikan jika menerbitkan Perppuu. Begitulah seni demokrasi, berbeda dalam sudut pandang. Karena, seragam adalah ciri otoritariansime. Sehingga, memilih demokrasi adalah memilih kehidupan yang berbeda.

Pembaca yang budiman, untuk mendalami kajian akademik hukum ketatanegaraan mengenai impeachment Presiden, telah banyak referensi yang membahas. Salah satunya adalah buku Penulis. Karena, dalam tulisan ini penulis tidak membahas mendalam mengenai pemberhentian Presiden. Mendalami kajian ketatanegaraan secara akademik, perlu dilakukan untuk meluruskan pemahaman mengenai dinamika ketatanegaraan.[]

Bagikan

Komentar