Entah apa yang ada di benak Gajah
Mada ketika mengucapkan ini. “lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa,
lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Butuni, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
palapa”. Sebagaimana tertulis dalam kitab Pararaton, Gajah Mada mengucapkan
“sumpah” ini saat diangkat sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit pada 1256 tahun
Saka atau 1336 Masehi. Sumpah itu lebih
pada ikrar yang diucapkan di hadapan banyak orang dengan “berharap” disaksikan
sesuatu yang Kuasa. Karena itu sumpah berimplikasi pada dua dimensi
kepercayaan. Manusia dan sesuatu yang Kuasa. Sang Patih bersumpah jika telah
menundukan seluruh Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit, barulah Ia akan
berhenti berpuasa (memakan buah palapa). Ada imajinasi dalam sumpah itu yang
coba dibumikan lewat keinginan untuk menguasai Gurun (Lombok), Seran (Seram di
Maluku), Tanjung Pura, Haru,
Butuni, Pahang (Malaysia),
Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Singapura).
Ada beberapa tafsir yang tak
tuntas karena sejauh ini perdebatan
tentang buah “palapa” belumlah usai. Apakah Ia sejenis buah ataukah lebih pada
sebuah emoji. Slamet Muljana, Guru Besar Filologi Universitas Indonesia yang menulis buku “Tafsir Sejarah
Negara Kertagama” menyebut bahwa “amukti palapa” lebih pada keinginan untuk
bebas dari tugas atau cuti. Artinya, sepanjang daerah daerah yang disebut belum
jadi bagian dari daulat Majapahit, maka Gajah Mada tak akan berhenti berperang
menyatukannya. Faktanya, 21 tahun berjuang, Gajah Mada akhirnya menyatukan
semua wilayah itu. Sita W. Dewi lewat tulisannya “Tracing The Glory Of
Majapahit” di The Jakarta Post April 2013, menyebut Majapahit adalah kerajaan
pertama yang diyakini mampu menyatukan berbagai wilayah nusantara bahkan hingga
ke wilayah Asia Tenggara sebagai sebuah negara kepulauan.
Jejak ini terjustifikasi dengan
wilayah yang disebut dalam Sumpah Palapa. Menariknya, nama Seram disebut Gajah
Mada. Dari mana Sang Patih mendapat referensi nama ini? Mengapa bukan Ternate
(1257) atau Tidore (1108)?. Sejarawan Universitas Khairun Ternate, Irfan Ahmad
menduga, jangkauan Majapahit saat itu hanya sampai pada Seram (Maluku) karena
akses perdagangannya sudah terbuka terutama soal Pala dan Cengkih. Sementara di
bagian Utara yang lebih kaya, Ternate, Tidore, Moti dan Makeang masih
dirahasiakan. Baru “terbuka” aksesnya setelah Portugis masuk dua abad setelah
Majapahit berkuasa. Bisa jadi juga akibat hegemoni kerajaan di Maluku bagian
Utara yang demikian besar dan menjadi petimbangan Gajah Mada serta Majapahit
untuk tidak berekspansi ke wilayah ini yang sudah berdaulat jauh sebelum
Majapahit ada.
Jika dirunut, sejarah juga mencatat
beberapa heroisme lokal selalu didahului dengan “sumpah”. Babullah Datu Sjah (1570
– 1583), Sultan Ternate yang populer dengan julukan “Was Lord Of A Hundred
Island” mengawali kiprah gemilangnya dengan sumpah untuk mengusir Portugis
keluar dari wilayah Ternate. Lalu ada Sultan Nuku Muhammad Amiruddin, yang
sukses besar mengusir Belanda dari Tidore, juga mengawali perjuangannya dengan sebuah sumpah untuk
menolak ketidakadilan dan kesewenangan penjajah. Hampir enam abad setelah
“sumpah palapa” itu, sejumlah anak muda yang tak saling mengenal melakukan
sebuah pertemuan besar dan “menandai” diri mereka sebagai “Kami” yang
bersumpah. Di ujung Oktober 1928 itu, ratusan anak muda dari Jong Java, Jong
Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Islaminten Bon, Jong Ambon, Pemuda
Betawi dan banyak lagi melaksanakan Kongres Pemuda II.
Mereka mengucap ikrar bersama untuk
bersatu dalam satu ikatan yang menyatukan tanah air, bangsa dan bahasa.
Imajinasi ikatan itu lalu dikenal dengan “sumpah pemuda” justru setelah kongres
berakhir. Dalam kongres penuh semangat
itu juga, seorang gadis berusia 15 tahun “dipaksa” menyanyikan lagu Indonesia
Raya yang diiringi gesekan biola sang penciptanya, WR Supratman. Karena tekanan represif Belanda, lirik
“merdeka” dalam Indonesia Raya di ganti
dengan kata “mulia”. Dolly Salim, gadis muda yang menjadi orang pertama di
Republik ini yang menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam sebuah wawancara dengan
majalah Pertiwi (Oktober 1987) mengakui, dirinya diminta menyanyi karena
kebetulan duduk di bangku paling depan saat kongres.
Indonesia Raya dalam perspektif
milenial adalah “sumpah” yang terus dinyanyikan. Membayangkan sebuah ikatan
yang penuh imajinasi. Tetapi sebagaimana imajinasi, kadang manis penuh semangat
namun tak sedikit yang liar. Sangat sedikit yang diwujudkan dalam nyata.
Terutama yang berhubungan dengan pikir
dan laku. Semua pemimpin atau mereka
yang diberi “percaya” untuk melayani banyak orang juga selalu mengawali tugasnya dengan sumpah.
Sumpah jabatan misalnya disaksikan manusia dengan tradisi berdiri di bawah
kitab suci atau menunjukan simbol keyakinan. Ada lafaz yang terucap. Di lakukan
dalam sebuah upacara penuh aturan. Ada dimensi manusia dan Tuhan yang hadir.
Tetapi seperti lakon protokoler lainnya, yang diingat kemudian adalah “upacara”
itu yang dipameran lewat foto kenangan.
Dimensi sumpah tidak lagi berhubungan dengan sesuatu yang Kuasa. Yang
dipercaya punya kemampuan mengatur dan mengawasi setiap laku.
Sumpah bukan lagi ikatan imajinasi
yang wajib “dibumikan” dalam keseharian (bertugas melayani) tetapi lebih pada
kenyataan yang bermemori pendek. Ada kerakusan. Ada keinginan untuk terus
menjadi super. Dan kapitalisme hadir dalam wilayah privat untuk menolak
kebenaran. Kekuasaan yang lahir dari proses demokrasi yang tidak jujur secara
tidak proporsional hanya memberi manfaat kepada mereka yang di atas. Sedangkan
jutaan orang lainnya ditinggalkan dalam kondisi yang stagnan atau menurun. Di
ujung semua ini ada kekacauan. Francis Fukuyama dalam bukunya, “Identity, The
Demand For Dignity And The Politics Of Resentment” menyebut fenomenna ini
sebagai munculnya politik kebencian. Sesuatu yang menjadi katalisator untuk
musim semi di Arab, kebangkitan ISIS, lahirnya Brexit, tumbuhnya sayap kanan
progresif dan makin kuatnya imajinasi negara baru yang diyakini lebih adil dan
sejahtera.
Di kalangan anak muda kini, “sumpah” 91 tahun lalu berulang kali dirayakan dalam upacara, tebaran iklan atau postingan gambar di media sosial tanpa gerakan untuk “berkumpul” dan “berjuang”. Kebanyakan kita masih terjebak pada imajinasi “the agent of change”. Padahal tanpa “agent” itu, dunia terus berubah. Kemakmuran hanya milik sebagian yang tak banyak. Di kamar sebelah, ketidakmakmuran memeluk mereka yang banyak. Kita jelas tak butuh “sumpah” baru karena sejatinya negeri ini sudah penuh dengan tumpukan “sumpah”. Saatnya kita bergerak memimpin. Menjadi “The Leader Of Change”. Merubah hal kecil di sekeliling kita menjadi lebih baik. Memungut sampah misalnya tak butuh aturan tertulis. Hanya butuh gerakan kecil untuk menunduk dan memungutnya. Lebih pada kesadaran.
Jika kita mengenang mereka yang dulu ber”sumpah” hanya dengan ingatan setahun sekali, maka kita sedang merencanakan kegelapan. Yang gelap dan pasti kacau adalah masa depan kita. Bukan masa depan mereka yang dulu bersumpah. Anak muda kini makin jarang berkumpul. Kita ber”rumah” secara maya. Dalam rumah maya itupun, diksi tentang perbedaan dan saling menyalahkan lebih dominan. Ada dominasi kebenaran yang dikelompokkan. Tere Liye dalam novel “Negeri Di Ujung Tanduk” menuliskan sebuah paradoksal imajiner, “Jika kita memilih untuk tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan”. Dengan ini kita sebaiknya merenung tanpa perlu bersumpah lagi.
Komentar