By. Asghar Saleh
Oktober 1998 minggu pertama. Republik penuh desas desus. Gerakan bawah tanah menolak Soeharto maju lagi sebagai Presiden bergerak liar. Sebuah radiogram membelah langit. Jatuh berdentam di kaki gunung Gamkonora. “Radiogram berasal dari Abdurahman Lahabato, pemimpin redaksi dan pimpinan umum SKM Ternate Pos. ditujukan kepada saudara Rusli Jalil dimana saja berada. Isi radiogram: saudara diminta kesempatan pertama segera ke Ternate menghadap redaksi Ternate Pos di jalan Delima, Kelurahan Toboko”. Radiogram – cara menyampaikan informasi paling ampuh saat itu – diputar berulang kali oleh RRI Ternate.
Efeknya bikin heboh kampung kecil bernama Gamsungi itu. Maklum, Rusli Jalil bukan nama biasa. Dia “buronan” yang bersembunyi dan menyamar sebagai anggota koperasi. Dua tahun sebelumnya, saat kerusuhan dua puluh tujuh juli alias Kudatuli meledak di Jakarta, nama ini “diburu” penguasa jauh hingga ke Manado. Rusli yang masih kuliah di FISIP Unsrat memilih kabur pulang ke tanah kelahirannya. Ia meninggalkan kerja jurnalistik sebagai jurnalis di tabloid Lensa Utara Manado. Adalah Abdurahman Samiun dan Mohammad Ahmad yang memintanya menyingkir.
Saat radiogram itu mengundang, birahi jurnalisnya kambuh. Lelaki kelahiran 22 Mei 1970 itu ke Ternate. Tiba di kantor mingguan ini, tak ada yang mengenalnya. Rambut gondrong dan bermodal pakain yang melekat di badan. Masuklah Ia dan sambil membungkuk, “ saya Rusli Jalil”, akunya. Lalu mulailah Ia bekerja. Nama kerennya berubah jadi Ucily. Namun saya lebih suka memanggilnya Uchie. Nama yang lebih “kiri” sebagaimana hobinya membaca buku buku kiri yang mempengaruhi idiologinya. Kadang saat tak punya kerjaan, saya suka memintanya menyanyikan Internazionale, mars kaum buruh yang melegenda itu.
Uchie melesat bak meteor. Hanya tiga pekan bekerja, Ia yang punya kemapuan menulis dan naluri investigasi tinggi dipercaya sebagai Redaktur Pelaksana. Gaya menulisnya campuran sastrawi. Mengekor Tempo yang memang jadi bacaan wajib di Ternate Pos saat itu. Perkenalan saya dan Uchie terbilang unik. Saat konflik Ambon menyebar bara kemana-mana, Saya bersama Ko Ucy (Rusli Abdul Waly) dan almarhum Andi Zhoegira menginisiasi bantuan kemanusiaan. Kami juga menggelar aksi Forum Umat Islam di kantor DPRD Kabupaten Maluku Utara meminta umat islam Ambon dilindungi. Empat hari setelah aksi itu, majalah Detektif dan Romantika terbitan Jakarta mengulas liputan panjang. Judulnya “Suara Jihad Yang Ketinggalan Kereta”. Di pojok akhir liputan itu tertulis nama Rusli jalil. Saya menyimpan nama itu dengan geram. Siapa Dia?.
Belakangan kami sering bertemu di lapangan. Saya jadi jurnalis radio. Uchie masih tetap di Ternate Pos. Akhirnya saya paham, Uchie menulis itu karena tak ingin konflik dipelihara atas nama agama. Pilihan berisiko karena warga dicekam konflik dan terbelah. Namun, Ia konsisten bicara jurnalisme damai. Saya dan Uchie sempat mengikuti pelatihan jurnalisme damai di Manado dan Palu. Pelaksananya Yayasan Serat punya Basri Amin. Kami makin “menyatu” saat Abdul Muhyie Effendi, Penguasa Darurat Sipil Maluku Utara melarang peliputan RCTI, TPI, Ternate Pos, Mimbar Kie Raha dan Mingguan Fokus. Muhyie menuding media tidak netral dan memprovokasi dalam pemberitaan tenggelamnya KM Cahaya Bahari dan penggunaan dana darurat sipil.
Kami melawan bersama jurnalis yang ada. Karena belum ada organisasi pers, saya dan Uchie mendirikan Komunitas Jurnalis Maluku Utara (KJMU). Saya Ketua dan Uchie sekretarisnya. Kontak jaringan AJI untuk advokasi dilakukan Uchie. Saya minta bantuan teman teman Utan Kayu. Munir dengan Kontras juga kami hubungi. Akhirnya kami bertemu Muhyie di sidang Dewan Pers yang dipimpin ketua Atmakusumah Astraatmadja. Pejabat Gubernur kedua ini tak mencabut maklumat larangan itu tapi memberi signal bisa meliput.
Sepulang dari Jakarta, saya bergabung dengan Ternate Pos. Uchie jadi bos. Meski begitu penampilannya tetap cafarune. Dengan rompi coklat lusuh Ia kerap meliput. Tapi tak berkerumun ikut wawancara. Uchie biasanya menjauh hanya mendengar. Namun saat berita naik cetak, deksripsi tulisannya jauh lebih akurat dan tajam dari mereka yang berkerumun dengan tape recorder di tangan. Daya ingatnya luar biasa. Sama seperti kami mengingat kebiasaannya yang kerap bikin emosi meluap. Berulang kali Ia ke kantor tanpa membawa duit. Tiba depan kantor, Uchie biasanya masuk dengan tangan meminta, “ Ada Doi (uang)?. Cuek membiarkan ojeg menunggu di depan kantor. Menjaga “kehormatan” sang Redpel, kami biasanya membayar dengan gerutuan yang terus berulang karena Ia tak berubah.
Tapi perkara duit jangan bicara dengannya jika bersentuhan dengan kerja jurnalis. Ia paling konsisten anti amplop. Baginya sekali menerima, sesudah itu tak lagi independen. Gaya yang tak disukai sebagian teman, maklum media saat itu masih melarat. Pernah sekali, Ternate Pos menurunkan liputan panjang hasil investigasi pembelian kapal Gama 01 yang penuh curang dan rekayasa. Om Ga (Bupati Gahral Syah) marah besar. Di depan ruang kerjanya ada tulisan besar di papan informasi. Ternate Pos DILARANG!. Ada oknum yang coba membujuk. Saya ingat betul malam itu sekarung uang dibawa bernegosiasi agar Ternate Pos berhenti. Uchie marah besar dan menolak semua tawaran itu.
Bubar dari Ternate Pos, bersama beberapa rekan jurnalis kami mendirikan mingguan Aspirasi. Berkembang hingga terbitlah harian dan tabloid khusus olahraga “Gelora”. Tapi jalan ini tak panjang. Usai memproduksi film Cintaku Di Tubo, kamipun bubar. Penampilan Uchie yang merendah dan sederhana memang membuat banyak yang terkesan. Syamsir Andili – Wali Kota saat itu – paling menyayangi Uchie meski tiap pekan selalu di “jubi” dengan sikap redaksi yang menohok pemerintah. Ko Syam menilainya sebagai jurnalis sekaligus aktifis yang ulet dan cerdas. Uchie tak pernah tampil di depan. Ia memilih bekerja dengan tulisannya yang tajam. Sendirian dan cenderung misterius.
Hamit Usman, politisi Golkar yang terlibat dalam panitia pemekaran daerah ini menyebut Uchie sebagai pejuang yang gigih. Di matanya, Uchie lah sosok penting yang membakar asa dan api perjuangan mahasiswa lewat tulisan bernasnya di Ternate Pos. Tengah bulan kemarin saat kami bernostalgia mengenang perjuangan itu di Hotel Batik, Ko Mit mengulang lagi bahasanya. Dan Uchie yang duduk di samping saya kembali membantahnya. Ia berpendapat, banyak orang yang berkorban untuk pemekaran provinsi. Jurnalis hanya menulis fakta. Tak lebih. Sikap yang terus dipelihara dalam diamnya.
Karena itu, saya agak heran saat Uchie memilih jadi Ketua Komisi Pemilihan Umum Halmahera Barat di tahun 2002. Dalam banyak diskusi, Ia termasuk sedikit orang yang alergi berpolitik. Gegara Ketua KPU pula Ia kemudian diburu dan bersembunyi setelah kisruh pemilihan gubernur di tahun 2007. Saya mengira akan ada pertobatan politik, nyatanya usai tugas di KPU, Uchie maju dalam pemilihan legislatif tahun 2009. Jadilah dia anggota Dewan Yang Terhormat itu mewakili Partai Amanat Nasional hingga tahun 2014. Usai purna bakti melayani rakyat, Uchie menepi mengurus keluarga. Kami makin jarang bertemu secara nyata. Komunikasi hanya lewat tol langit.
Lalu awal 2015, mendadak Ia banting setir bekerja di PT Nusa Halmahera Minerals. Sebuah pilihan yang dicibir banyak teman. Namun Ia melaju. “Keluarga saya butuh makan,” kilahnya suatu saat. Uchie menikah dengan perempuan pilihan hatinya asal Gorontalo. Sebuah pernikahan yang dikenang sebagai sesuatu yang mengejutkan. Saya, Herman Oesman, Kasman Hi Ahmat dan beberapa teman lagi nginap di hotel Puri Mega Jakarta ketika malam itu Uchie datang dan minta ditemani jalani akad nikah. Kami kaget. Siapa pengantinnya?. Pagi harinya saat menuju rumah pengantin perempuan di Bekasi, kami beberapa kali tersesat karena Uchie juga tak tau di mana rumah mempelainya.
Dari pernikahan penuh cinta bersama Imelda Gobel, rumah tangga mereka dikarunia empat anak. Sepasang putera puteri. Semuanya berjalan normal hingga Sabtu pagi kemarin, beberapa gambar yang disebar lewat Whatsapp bikin geger. Di gambar itu, Uchie tergeletak tak berdaya dan di evakuasi ke Manado. Saya kelabakan. NHM di kontak namun minim informasi. Cerita lengkapnya saya dapat saat menuju Gamsungi. Beberapa teman sekantor berbagi cerita. Pagi itu, Uchie memimpin rapat staf. Sebagai supervisor sosial, Ia bicara tentang pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja. Di ujung rapat, Ia menegaskan prinsipnya “kerja sehat, pulang selamat”. Kalimat yang terus diulang bahkan saat rapat telah bubar. Uchie pamit hendak merokok di luar ruang rapat, belum lagi api membakar rokok, dirinya roboh tak sadar diri.
Penjelasan medis rumah sakit tempatnya dirawat menyebut Uchie terkena infrak yang meluas di otaknya. Infrak itu semacam sumbatan yang memutus pasokan oksigen ke otak. Infrak terkutuk itu pula yang merenggut Uchie dari kehidupan kami semua Sabtu malam. Saat menjemput jenazahnya bersama banyak teman, istrinya membisiki pesan Uchie kepada saya. Tolong ajari anaknya, Fatur menulis. Pesan yang lumayan berat karena sebagaimana Uchie. Di situlah menulis menemukan arti dan hati. Ada satu puisi pendek dari Uchie yang bakal selalu saya ingat sebagai identitas kehebatanya. ‘Pada kata-kata, aku lebur dahaga. Aku basuh luka dan kutatap malam dengan kata-kata yang hampir kabur. Aku lahir dengan kata-kata”.
Jannah tempatmu Chie
Komentar