oleh

“Menakar Partisipasi Masyarakat Terhadap Pilkada Kabupaten Halmahera Timur 2020”

Rusmin Hasan

Aktivis : HMI Cabang Tondano Sulut

Demokrasi merupakan gagasan besar dalam mengubah struktur politik di dunia. Selain itu, hadirnya demokrasi memberikan harapan baru terhadap kedaulatan rakyat. Sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pemerintah pusat menjadikan Pemilihan Kepala Daerah sebagai instrumen penting dalam penyelenggara pemerintahan daerah yang demokratis.

Dengan demikian, partisipasi masyarakat mengakar pada tingkat daerah dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan–kegiatan pemerintah daerah Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat memberikan ruang partisipasi yang luas untuk memilih dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat daerah.

Di mana dalam hal ini peran rakyat sangatlah penting untuk menentukan arah dan masa depan suatu daerah. Dengan memilih seseorang yang benar-benar berkompeten dan dapat diandalkan dalam memimpin suatu daerah, maka daerah tersebutpun dapat dipastikan akan mengalami perubahan yang signifikan dalam laju perkembangan terutama perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Namun hal itu semua kembali lagi kepada pilihan pribadi masing-masing sesuai dengan keyakinan yang dimiliki oleh setiap individu.

Saat ini Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak tahun 2020 dengan diikuti 270 daerah yang terbagi 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Efek pandemi Covid-19 telah menghambat proses penyelenggaraan Pilkada dan Perppu 2/2020 sebagai regulasi dalam penundaan Pilkada serentak 2020.

Regulasi tersebut, memberikan tiga opsi pelaksanaan Pilkada serentak 2020 antara lain, pada 9 Desember 2020, 17 Maret 2021 dan 29 September 2021. Namun, Gugus tugas Covid-19 melayangkan surat kepada KPU untuk melakukan Pilkada pada 9 Desember dan tindak lanjuti Ketua KPU dalam melaksanakan Pilkada 2020 di tengah Pandemi.

Pemilihan di masa pandemi sarat perdebatan, sebab mengancam kesehatan  masyarakat yang berimpilkasi terhadap tingkat partisipasi di Pilkada. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih yang menjadi indikator keberhasilan Pilkada harus diperhatikan.

Pilkada 9 Desember 2020 memiliki beberapa tantangan dalam meningkatkan partisipasi pemilih di tengah pandemi. Setidaknya, tantangan KPU melakukan sosialisasi politik, pendidikan politik, kampanye dan debat calon menjadi tidak mudah di tengah pandemi Covid-19. Perlu disadari bahwa kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik, tentu sangat berbeda dilakukan di tengah pandemi Covid-19.

Sebab, sebelumnya kegiatan ini dilakukan dalam bentuk pertemuan fisik (konvensional), maka di masa pandemi akan lebih banyak dilakukan secara virtual. Demikian pula kegiatan tahapan lain seperti sosialisasi, kampanye dan debat calon dengan tatap muka yang berlangsung di tengah kerumunan massa, tentu akan dihindari.

Metode sosialisasi, kampanye dan debat calon, akan lebih banyak menggunakan teknologi informasi seperti aplikasi virtual, media sosial, dan tidak menutup kemungkinan membentuk pertemuan dengan melakukan protokol kesehatan secara ketat. Harapannya kesiapan penyelenggara nantinya dapat menarik minat masyarakat untuk menggunakan hak pilih.

Berdasarkan data dari KPU, data partisipasi masyarakat dalam pilkada terus menurun. Pada Pileg 2014 angkanya 75,11 persen, Pilpres 2014 angkanya 71, 31 persen, pada Pilkada tahun 2015, partisipasi masyarakat dalam pilkada 2015 tersebut sebesar 69,14 persen.

Sedangkan target persentase partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2015 adalah sebesar 77,5 persen. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada Pilkada tahun 2015 masih belum mencapai target yang diinginkan.

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat semakin lama semakin menurun, dan ditakutkan hal tersebut akan terus terjadi. Bila dilihat dari hal tersebut, maka masih banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan guna meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam kegiatan demokrasi ini.

Begitu pula, dengan Potret partisipasi pilkada Kab. Halmahera Timur penuh dengan intrik & atmosfer ditingkat lokal kian hari-hari ini menjadi tren topik dikanca lokal berpolitian kita diprovinsi Maluku Utara. Konon katanya,  angka  partisipasi masyarakat dlm pilkada haltim 2020 meningkat 90%. Dan menjadi sejarah pilkada dari fase kefase pilkada di Kab. Haltim bahkan tercatat tingkat partisipasi dlm perceteruan pilkada dimalut yang begitu tinggi. Alhasilnya menjadi wacana yang menguangat dlm diskursus ruang publik pilkada tahun ini. Namun dilain sisi, perluh kita lihat secara rasional dan penuh kebijaksaan. Dalam prespektif sosiologi politik

Mengutip dari Svitaylo (2014:940), bahwa yang mempengaruhi prilaku pemilih untuk memutuskan memilih atau tidak memilih merupakan kombinasi antara rasionalitas (kognitif) dan emosional (afektif) pada akhirnya melahirkan suatu penilaian (evaluasi) untuk melakukan tindakan (aksi) memilih atau tidak memilih.

Tesis ini sangat membantu untuk melihat prilaku pemilih pada pilkada Kab. Haltim tahun 2015, dimana angka partisipasi warga hanya mencapai angka 25- 30 %. Bahwa rendahnya kehadiran pemilih ke TPS atau keputusan pemilih untuk memilih dan tidak memilih terkait dan dipengaruhi oleh ketiga aspek diatas ,yakni aspek kognif (rasionalitas), aspek afektif ( emosional dan aspek penillaian evaluatif.

ada tiga aspek yang harus dilihat secara ilmiah, yakni pada tingkat pengetahuan masyakat rasional atau standar pendidikan masyarakat, emosional masyarakat. Sekaligus penilaiaan ( evalusi ). Disitulah kita bisa melihat sejauh mana partisipasi masyakat terhadap pilkada Haltim . Secara objektif pilkada 2020 dikelar ditengah covid-19 itu tak rasional kalau dalilnya mampu mencapai tingkat partisipasi 90 persen.

Secara letak geografis Populasi jumlah penduduk dari 102 desa di Kabupaten Haltim mustahil ketika sebagian besar mereka hadir dalam TPS untuk mencoplos hak suara secara konstitusional sesuai perintah Regulasi PKPU, karena tingkat sosioliasasi KPUD dan Bawaslu dibatasi sehingga  pada tahap debat kandidat saja dibuat via onlien. Lantas ada entitas tim sukses serta beberapa aknum mengatakan begitu tinggi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pilkada 2020 mencapai rasio trastis 90 persen. Inikan ironis?..

Rata” tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Halmahera Timur secara universal berkisar lulusan SD sampai SMA, serta ada sebagaian SI, S2 sekaligus ada yang masih dibawa rata” lulusannya hanya sampai Sekolah Dasar.

Dari sisi pengetahuan tentang demokrasi saatlah minim, berbeda dengan pemilihan legislatif dengan pilkada calon bupati & wakil bupati. Jadi secara rasio kesadaran dan partispasi masyarakat terhadap pilkada ditengah pandemi covid-19 sangatlah tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran masyarakat tentang demokrasi lokal kita.

Kira-kira Bagaimana indikatornya sampai mencapai 90 persen setinggi itu? Harus dianalisis secara ril nilai keilmiahannya. Jangan sampai ini hanya opini publik yang dibangun untuk melegitimasi elektabilitas sala satu paslon dalam perebutan kekuasaan pilkada 2020 sehingga mengorganisir kesadaran publik terhadap paslon mereka.

Kalau bisa ciptakan nilai politik yang humanime dan menjungjung nilai keadaban politik sesuai dengan nilai etis politik, yang diajarkan kemasyarakat kita.Sekedar saran sehingga tak ada dusta didalam ruang publik diskursus dinamika politik lokal kita pekan hari-hari ini.

Narasi sederhana ini, bentuk pertanyaan kepada mereka yang mengklaim tingkat partisipasi masyarakat meningkat 90 persen. Dan saya menulis atas dasar kesadaran dan independensi etis tanpa ada tensi kesala satu paslon.

Catatan : Amerika seringkat, Prancis dan Jerman saja dalam pemilihan umum tingkat masyarakat belum sampai pada level partisipasi yang begitu tinggi seperti di Kabupaten Halmahera Timur sampai 90 persen.

Menurut hebat saya kurang logis kalau Haltim yang kategori Daerah tertinggi di provinsi Malut begitu tinggi partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi pilkada 2020 ini.

Semoga narasi sederhana ini bisa membuka fakta seekaligus kerancuan dalam mengevaluasi tingkat partisipasi masyarakat Kabupaten Haltim pada pilkada 2020 ini. Apakah meningkat atau ka tak berbanding lurus dengan stegmen sebagaian kalangan.

Bagikan

Komentar