Oleh : Risman Tidore
(Pemerhati kebijakan publik dan Civil Society)
Suksesi pemilu serentak nasional 2024 kini tengah bergulir sejak diterbitkan Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024 yang resmi dilaunching oleh KPU secara nasional pada 14 juni 2022.
Memang kontestasi demokrasi prosedural sedang dalam penguatan dan pemantapan kala memasuki tahapan rezim pemilu serentak pilpres dan pileg 2024,namun eskalasi politik di daerah dalam konteks pilkada yang sedianya digelar pasca rezim pemilu justru memiliki daya intensitas dinamika yang kian memanas seiring dimulainya aksi dan reaksi baik diantara para elit politik maupun simpatisannya dilevel grassroot.
Contoh aktual eskalasi politik lokal Kota Tidore kepulauan Maluku Utara yang kini diwarnai gaduhnya perbincangan publik merespons guyonan salah satu balon kepala daerah saat bersilaturahmi dengan masyarakat setempat pada jumat (23/09/2022) malam. Seketika potongan ucapan yang diduga bermuatan “rasisme” dalam pidato seketika viral di media sosial (facebook dan grup Whatsaap) dan ramai-ramai menjadi pembahasan hingga mendapat respon yang beragam pula seperti kecaman keras serta sindiran politis yang tidak menyenangkan.
Keadaan pun menjadi rumit jika pihak yang berkepentingan terutama elit politik mencoba memanfaatkan situasi sambil sibuk mengkonstruksi makna masing-masing sehingga, menyebabkan narasi kegaduhan kian menjadi perbincangan warga. Pun demikian diksi seperti kaco (kacau atau membuat onar) dan mau keto (mabuk) sebagai preposisi negatif yang ditujukan ke warga jazirah oba dan suku sangir yang terpleset, ramai menjadi bahan gunjingan dan dikritik oleh khalayak sebagai pilihan kata yang tak patut disampaikan serta dianggap sebagai problem public-speaking yang memantik kegaduhan publik.
Dalam perspektif komunikasi politik kaitannya dengan problem public-speaking, dapat dibedakan antara argumentatif dan verbal agresif. Dominic Ifanta (1996) membedakan keduanya: Argumentasi selalu bersandar pada alasan, nalar, logika berfikir, dan tautan data atau fakta yang bisa menjadi penguatnya. Sementara agresivitas verbal menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri orang lain.
Dari sisi narasi komunikasi yang dipilih, selama proses wacana kandidasi Pilkada selama beberapa bulan terakhir ini, masih didominasi oleh pilihan agresivitas verbal yang mengarah ke emosi, dibanding pertarungan gagasan dan program yang membutuhkan argumentasi. Persoalan yang mengemuka dan ramai menjadi narasi kegaduhan tidaklah substansial melainkan baru sekedar memalingkan perhatian khalayak pada polemik dan kontroversi.
Para elit di ragam kesempatan memang lebih banyak membangun narasi kontroversial. Sebut saja contohnya penantang baru yang mendelegitimasi kinerja pemerintahan saat ini yang jauh dari cita-cita, visi dan program yang diusung pada pilkada sebelumnya.
Begitu juga sebaliknya, kubu petahana pun menyerang dengan sindiran yang menohok dimana penantang dipersonifikasikan sebagai pendatang baru yang tidak memahami dan menguasai hal ikhwal permasalahan di Daerah.
Dalam kajian komunikasi politik, pola dan pendekatan konstruksi narasi politik yang demikian lazim dikenal sebagai pendekatan propaganda ala Rusia (Russia’s approach) yakni Firehose of Falsehood. Biasanya dalam praktik propaganda firehose of falsehood ini memiliki empat karakteristik utama.
Pertama, memanfaatkan kontroversi untuk membanjiri kanal-kanal warga yang sehari-hari diakses mereka dengan narasi yang dikehendakinya. Kedua, narasi dikonstruksi cepat dan dan dibuat masif. Artinya pesan yang sama atau serupa bisa diulang-ulang secara terus menerus sehingga persepsi khalayak lama lama akan terkonstruksi seperti yang dikehendaki. Ketiga, tidak terlalu peduli dengan akurasi dan etika. Kerap mengabaikan keterhubungan pernyataan yang dilontarkan dengan realita sesungguhnya. Keempat, seringkali tidak konsisten antara narasi di satu kesempatan dengan kesempatan berbeda.
Singkatnya strategi Firehose of Falsehood menempatkan seseorang menjadi sangat kontroversial, bisa dipersepsikan licik, rasis, atau stigma buruk lainnya. Tetapi, di saat bersamaan dia juga bisa meraup keuntungan elektoral dari warga yang secara diam-diam ataupun terbuka berada di pusaran arus kontroversinya, menikmati bahkan bisa saja akhirnya berharap perubahan justeru dilakukan oleh figur yang kerap dianggap bad guy seperti Trump di amerika.
Strategi propaganda serupa yang kerap dimainkan di musim kompetisi elektoral adalah false flag operation. Propaganda ini modusnya dengan mengkambinghitamkan pihak lawan atas suatu kasus atau kejadian. Tujuan utamanya agar opini khalayak mempercayai apa yang telah mereka lakukan dan apa yang mereka katakan. Inilah jawaban mengapa jika ada suatu peristiwa mengemuka, masing-masing pihak sibuk membangun narasi kegaduhan yang sifatnya mencari kambing hitam siapa yang salah atau siapa yang bertanggungjawab.
Kedua kubu baik penantang maupun petahana kerap berjibaku melakukan teknik ini di setiap kesempatan jika ada peluang kesalahan di kubu lawan. Salah satunya dengan memanfaatkan prinsip bekerjanya Teori Agenda Setting, yakni jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media akan mempengaruhi isu tersebut dirangking sebagai isu penting oleh khalayak. Selain perangkingan isu di media massa, strategi lainnya adalah membanjiri informasi dan perbincangan di media sosial lewat pasukan siber (cyber army) yang mereka miliki.
Harus diakui bahwa ruang publik selama tahapan Pemilu 2024 saat ini menjadi sangat kompleks dan dinamis bahkan penuh dengan warna kegaduhan akibat narasi yang kontra produktif dengan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara terutama persatuan dan kesatuan sesama warga bangsa.
Narasi kegaduhan juga tidak selalu menguatkan kualitas demokrasi lokal. Gelembung isu politiknya seringkali sekadar menjadi permainan panggung yang temporer. Seharusnya kampanye politik difase kompetisi sirkulasi elit lima tahunan seperti pemilu dan pilkada yang sedang dan akan dihadapi seharusnya bergerak ke arah yang lebih substansial yakni tawaran program, visi dan gagasan. Jangan biarkan narasi kegaduhan menjadi dominan dan membuat elite dan publik sama-sama lupa daratan. (#)
Komentar