TERNATE-Masyarakat di daerah yang menjadi kontributor terbesar produksi energi di Indonesia ternyata belum mendapatkan manfaat potensi energi di wilayahnya. Hal itu terlihat dari kondisi masyarakat miskin serta angka stuting di wilayah penghasil energi masih cukup tinggi.
Lihat saja, Provinsi Maluku Utara terkenal dengan kekayaan alamnya yang luar biasa. Mulai dari kekayaan pertambangan yang dikandungnya, kekayaan hayati dan rempah-rempah, serta kekayaan sumber daya laut.
Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Utara melaporkan, ekspor Provinsi Maluku Utara pada September 2022 berupa golongan barang Besi dan Baja (HS 72) dan golongan barang Nikel (HS 75) seluruhnya dikirim ke Tiongkok.
Nilai ekspor Provinsi Maluku Utara pada September 2022 pada September tercatat senilai 598,1 juta US Dollar, sedangkan pada Agustus sebesar 611,47 juta US Dollar. Sementara volume ekspor Malut pada September 2022 sebesar 260,10 ribu ton, mengalami peningkatan 1,67 persen dibanding Agustus 2022 yang senilai 255,83 ribu ton.
Data Bea dan Cukai Ternate menyebutkan, ekspor bahan tambang feronikel oleh PT IWIP di Halmahera Tengah pada triwulan pertama 2022, mencapai Rp31,1 triliun dengan tonase nikel mencapai 781. 274,075 ton. P
Posisi kedua PT Harita Group di Pulau Obi dengan nilai ekspor triwulan 1 2022 senilai Rp7,296 triliun atau tonase 134.627.836,00 ton. Tahun sebelumnya, nilai ekspor nikel Rp2,228 triliun dengan volume 85 .765. 469,00 ton.
Selain dua perusahaan itu ada juga beberapa perusahaan tambang lain yang ekspor feronikel dan nikel pig iron pada 2022 sebanyak 64894.140 ton dengan nilai Rp2,066 triliun. Total nilai ekspor tiga perusahaan ini menembus Rp40 triliun pada triwulan I 2022.
Kekayaan alam untuk sektor pertambangan membawa nama Maluku Utara menjadi Provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia untuk periode triwulan II 2022, bersama dengan Papua sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua, serta Sulawesi Tengah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga.
Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Maluku Utara berada di atas angka pertumbuhan ekonomi nasional. Bank Indonesia melaporkan pada Agustus 2022, perekonomian Provinsi Maluku Utara pada triwulan II 2022 tumbuh sebesar 27,74 persen (yoy).
Namun kekayaan sumber daya alam dari Maluku Utara justru bertolak belakang dengan keadaan sumber daya manusianya. Sebab, di Maluku Utara saat ini mengoleksi angka kemiskinan dan angka stunting masih sangat tinggi.
Kendati begitu, jumlah penduduk miskin di Maluku Utara mengalami penurunan pada Maret 2022 menjadi 79,87 ribu orang atau 6,23 persen dibandingkan pada September 2021 yang capai 81,18 ribu orang atau 6,38 persen.
Artinya, jumlah penduduk miskin Provinsi Maluku Utara periode Maret 2022 menurun sekitar 1, 931 ribu orang. Dan pada periode yang sama, persentase penduduk miskin daerah perkotaan naik menjadi 5,18 persen dibandingkan periode September 2021 yang hanya 4,93 persen.
Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan sebesar 6,66 persen, dibandingkan keadaan Maret 2021 sebesar 5,13 persen,” rilis Badan Pusat Statistik Maluku Utara, Jumat 15 Juli 2022.
BPS Maluku Utara juga merilis garis kemiskinan pada Maret 2022, yaitu sebesar Rp514,383 ribu yang terdiri dari biaya makanan Rp399,127 ribu dan non makanan Rp115, 255 ribu.
Besaran garis kemiskinan ini naik dibandingkan keadaan September 2022 yang hanya Rp505,432 ribu atau 3,28 persen. Artinya, garis kemiskinan di Maluku Utara saat ini naik sekitar tiga belas ribu rupiah.
Sementara untuk angka stunting, berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi stunting balita stunting di Maluku Utara sebesar 27,5 persen. Angka ini belum cukup menggembirakan, lantaran masih berada di atas angka toleransi WHO yaitu dibawah 20 persen.
Secara nasional prevalensi stunting Indonesia termasuk dalam kelompok sedang menurut standar World Health Organizations (WHO). Dimana Kategori Prevalensi Stunting Menurut WHO diantaranya, Sangat Tinggi (Prevalensi Stunting >= 40%), Tinggi (Prevalensi Stunting 30-39%), Menengah (Prevalensi Stunting 20-29%) dan Rendah (Prevalensi Stunting < 20%).
Di beberapa provinsi, prevalensi stunting balita bahkan masih berada di atas 30% seperti terlihat pada grafik di mana peta wilayahnya terlihat paling gelap dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur/NTT dengan prevalensi stunting sebesar 37,8%, Sulawesi Barat sebesar 33,8%, Aceh sebesar 33,2%, Nusa Tenggara Barat/NTB sebesar 31,4%, Sulawesi Tenggara sebesar 30,2%, serta Kalimantan Selatan sebesar 30%. Secara Pemerintah langsung menargetkan pada tahun 2024 nanti angka prevalensi stunting di Indonesia secara rata-rata berada diangka 14 persen.
Angka prevalensi stunting di Maluku Utara, yang tertinggi Kabupaten Taliabu sebesar 35,2 persen. Kedua, Halmahera Selatan 33,7 persen, Halmahera Timur 32,7 persen, Halmahera Utara 30,5 persen, Halmahera Barat 30 persen.
Sedangkan paling rendah itu Kota Ternate di 24 persen. Halmahera Tengah 29,1 persen, Pulau Morotai 28,3 persen, Kepulauan Sula sebesar 27,7 persen dan Tidore Kepulauan 25,1 persen. (red)
Komentar