oleh

DRAMATURGI HALMAHERA

Oleh :

Herman Oesman

(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)

 

“Ketika Halmahera menjadi asing dan terasing”

Halmahera tak sekadar kawasan hutan lindung atau kawasan kaya sumber daya. Ia adalah penanda, sekaligus kelangsungan kehidupan paru-paru dan jantung di bumi Maluku Utara. Di sana pula, ruang hidup para penjaga hutan dijalin dan dianyam sejak ratusan tahun lalu. Dari generasi ke generasi, dari waktu ke waktu. Halmahera merupakan titik temu relasi dan interaksi antara manusia dan hutan yang berlangsung secara mutualis.

Halmahera bukanlah wilayah statis tanpa gerak. Dari hutan yang dimilikinya,  bumi Maluku Utara dihidupkan,  sumber daya yang dimilikinya mampu mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia dan tingkat kebahagiaan secara nasional. Juga menghidupkan yang lain. Seperti air mengalir dan memberi kehidupan, seperti tanah yang memompakan spirit bagi gerak dinamis masyarakat Maluku Utara setempat. Kira-kira itulah simbol makna yang dimiliki Halmahera.

Namun, tetiba, atas nama pembangunan, kebijakan,  kesejahteraan, dan (mungkin)  saja keserakahan,  kemudian semua itu berubah menjadi “mantra” yang menyengat Halmahera. Para penjaga hutan kemudian berubah menjadi “yang lain” (the others) bagi tanah mereka sendiri, bagi ruang hidup mereka. Perlahan, mereka,  para penjaga hutan pun tersisihkan dari hutan yang telah mereka jaga, pelihara, dan rawat ratusan tahun lalu dari generasi ke generasi.

Dari Halmahera, panggung pentas para elit mulai terkuak. Meminjam Erving Goffman (1956), ada dramaturgi di punggung Halmahera.  Pada panggung depan (front stage), keluar kata-kata sakti untuk kesejahteraan,  Pulau Halmahera amat kaya sumber daya alam, di sana masa depan Maluku Utara, dan segala pujian ditumpahkan.  Tapi di panggung belakang (back stage), berlangsung praktik dunia kapitalis, yang menurut Plummer (2011), kapitalisme membawa tiga ciri khusus : individu swasta yang menguasai sumber-sumber kemakmuran, uang diinvestasikan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan,  serta pasar terbuka dan bebas yang beroperasi dengan intervensi negara yang minim.  Dan di punggung Halmahera semua itu tengah berlangsung.

Kisah para penjaga hutan yang ter(di)kucilkan dari tanah mereka sendiri, bukanlah kisah baru. Dalam Orang-Orang Kalah (2004), Roem Topatimasang menguraikan, sejak tahun 1970 dan 1980-an, berdasarkan hasil-hasil riset dan pengamatan, komunitas ini selalu terhempas dari tanah sendiri. Kalah oleh “kebijakan tak berpihak” dari segelintir elit  yang mengatasnamakan pembangunan dan mantra sakti lainnya.

Sejak tahun 1970-an dan 1980-an itulah, kehidupan tradisional masyarakat adat penjaga hutan di daerah pesisir dan kota-kota sepanjang pantai hampir tak ada lagi. Pun demikian, mata pencaharian dan kehidupan perekonomian para penjaga rimba itu tetap terpuruk di hutan-hutan perawan, desa-desa tua. Dengan kata lain, setelah mengalami proses ketercerabutan budaya (cultural disinheritance)  yang cukup lama dan panjang, orang-orang penjaga hutan Halmahera kini juga mulai menghadapi  suatu proses penyingkiran secara ekonomis (economic marginalization) dan boleh jadi korban dari kekerasan pembangunan.

Perut Halmahera sejak zaman perdagangan rempah-rempah dan mutiara abad 16, telah menjadi sasaran eksploitatif. Tahun 1970-an hingga awal 1980-an, konsesi-konsesi hutan, HPH mulai menancapkan kukunya di hutan-hutan Halmahera, melakukan penebangan masif untuk mengekspor kayu gelondongan mentah (log). Pertengahan 1980-an survei sebagai rencana eksploitasi hasil tambang di wilayah Halmahera sudah berlangsung intensif. Dan kini,  perut Halmahera adalah lahan bancakan dan pesta pora para oligarki dan elit politik.

Dalam catatan Topatimasang, wilayah Halmahera Utara dan Halmahera Tengah (mungkin juga Halmahera Timur dan Halmahera Selatan) dalam jangka 5-10 tahun mendatang, akan merupakan zona ekonomi eksklusif yang paling eksklusif di Maluku Utara. Ramalan selintas itu mulai memperlihatkan hasilnya kini, dan makin menjadi-jadi.

Pada sisi yang lain, para penjaga hutan juga dikonstruk oleh hegemoni negara dengan  penamaan yang aneh : Togutil. Suatu nama di mana kelak diketahui, sebagai penyebutan nama yang meragukan dan mengandung banyak celah kontroversi, di mana  para penjaga hutan sendiri, justru enggan menggunakan penyebutan itu. (Topatimasang, 2004). Pelabelan kepada para penjaga hutan dengan penyebutan “Togutil” secara simbolik, dapat dibaca sebagai upaya “penyingkiran”  secara halus dari ruang hidup (hoana) komunitas penjaga rimba. Mereka disingkirkan dari hutan-hutan di mana mereka menjaga sumber kehidupan secara tulus. Penyingkiran dari hutan-hutan yang mereka juga tak tahu, bahwa dari perut bumi Halmahera berdenyar sumber daya ekonomi tak terkirakan, yang diperebutkan mereka yang beradab.

Halmahera kini berubah. Tak lagi sebagai ruang hidup bagi penjaga hutan, yang dengan nyawa rela dipertahankan. Halmahera telah menjadi pertautan kepentingan negara dan pemodal (oligarki). Jadilah kemudian, Halmahera didaku secara sepihak sebagai ikatan “hutan milik bersama”. Dan, ruang hidup itu makin menyempit. Tak hanya traktor yang meraung, segala alat berat lain pun ikut meluluhlantakkan “perut” Halmahera sebagai sesuatu yang absah dari klaim “milik bersama”.

Di hari-hari inilah, kita semua yang peduli Halmahera dan para penjaga hutan, menanti hadirnya “kemurahan” dan “kepedulian” penguasa untuk mengembalikan  Halmahera ke dalam habitatnya, tanpa kekerasan dan dalih apapun, di mana komunitas penjaga hutan dan warga sekitar dapat menikmati kembali kehidupannya dengan damai dan bahagia. Di perut Halmahera,  sesama anak bangsa saling menambang, melibas, dan saling memangsa,  sementara yang menikmatinya tengah menghitung untung yang diraupnya.

Halmahera dan kekayaan yang dikandungnya, boleh jadi atas dalih apa pun, menjadi  investasi bagi pemerintah, dan tentunya hanya mengejar keuntungan ekonomi ekstraktif semata, tanpa merawat kelangsungan ruang hidup. Ini memang tragedi dari “kepemilikan bersama” (tragedy of the commons) yang pernah digagas Garett Hardin (1968). Tragedi kepemilikan bersama merupakan tragedi rusaknya lingkungan akibat perilaku eksploitatif berlebihan atas sumber daya alam yang didaulat sebagai milik bersama.

Padahal, Putusan MK No. 35/PPU-X/2012 menegaskan, hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi Hutan Negara. Dalam Pasal 67 (ayat 1) secara tegas dinyatakan : “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.” Namun, anehnya, pada level daerah, acap kali upaya menindak-lanjuti Putusan MK tersebut justru memperoleh hambatan luar biasa. Penguasa seolah buta atas realitas yang ada.

Para penjaga hutan merupakan warga negara Indonesia, memiliki hak yang sama untuk hidup berbahagia di manapun di belahan negeri ini. Bila meminjam ungkapan Muhammad Hatta tatkala bersama tokoh lain pendiri  bangsa ini, pernah menyatakan : “saya hendak mendirikan suatu negara di mana semua orang merasa bahagia.” Atau meminjam ungkapan Ernest Renan yang selalu dikutip Soekarno : “kehendak untuk hidup bersama, itulah bangsa.” Apapun latar sosial, ekonomi, dan politik, asal memiliki kehendak untuk hidup bersama, itu adalah bangsa. Dan mereka sang penjaga hutan dan rimba, yang telah menjadi bagian dari bangsa ini, memerlukan perlindungan dan jaminan sosial-politik yang tegas dari pemegang kuasa untuk tetap berdiri tegak di negeri ini. Pengusiran mereka dari ruang hidup merupakan pengkhianatan dari semangat pendiri bangsa ini.

Kita saat ini hidup di era yang menjunjung keadaban. Tapi ternyata lelaku dan kebijakan tak merubah watak ‘jadi lebih beradab’. Kita makin kehilangan nalar etis atas kondisi ekologis alam dan keluhuran cita-cita untuk bersama tatkala berhadapan dengan upaya pengerusan bumi bagi kepentingan ekonomi semata. Sebaliknya, orang-orang penjaga hutan yang selama ini diberi stigma tidak memiliki budaya dan pinggiran, justru memiliki lelaku dan watak yang menjunjung tinggi keadaban. Dari orang-orang penjaga hutan, kita belajar bagaimana menjaga hutan dan isinya, tanpa merusak sejengkal pun. Dengan kata lain, para penjaga hutan merupakan perawat bumi Halmahera. Sebaliknya, elit merupakan perusak bumi Halmahera. Pada penjaga hutan, mari kita belajar bagaimana hidup bersama alam dan lingkungan dengan harmoni.

Dari Halmahera, tangis orang penjaga hutan terdengar sayup-sayup lirih, memilukan, dan tak dipedulikan. Sementara elit tengah dihadapkan dengan kasus korupsi, perpanjangan jabatan presiden, wacana tiga periode,  perebutan kuasa di level lokal, dominasi oligarki, politik identitas,  pindah ibukota nusantara, dan semarak jelang pesta politik 2024.

Ah.. Halmahera, tangis dari rimbamu masih kami dengar, walau di sana ada panggung dramaturgi elit yang tengah berlangsung. (#)

Bagikan

Komentar