TERNATE-Maluku Utara memiliki potensi yang besar apabila dikembangkan. Saat ini sedang terjadi kegiatan pengelolaan penambangan secara besar-besaran, banyak perusahaan besar yang berdatangan untuk menggali kekayaan bumi di wilayah yang kaya akan nikel itu.
Kedatangan para pemburu hasil bumi di wilayah yang kaya akan hasil pertanian dan hasil buminya ini (nikel), telah terjadi perubahan sosial masyarakat yang pada awalnya bertani dan nelayan selain untuk dijual juga untuk konsumsi keluarga, berubah menjadi pekerja tambang dan meninggalkan lahan mereka.
Mayoritas penduduk yang awalnya bergerak di sektor pertanian (petani) dan kelautan (nelayan), kini mulai beralih menjadi pekerja di sektor pertambangan. Proses peralihan ini disebabkan oleh keadaan sektor pertanian yang belum mampu menjamin kesejahteraan petani.
Dalam Temu Kaji Arah Pembangunan Maluku Utara yang digelar ICMI Wilayah Maluku Utara, Plt. Kepala Bappeda Maluku Utara, Sarmin Adam menyatakan, kinerja pembangunan daerah dari sisi laju pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tercatat tertinggi di dunia tahun 2021 pertumbuhan ekonomi 16,4 persen dan di tahun 2022 tercatat pertumbuhan ekonomi berada pada posisi 22,94 persen.
“Laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi dengan sumber pertumbuhan masih berasal dari lapangan pekerjaan industri pengolahan, industri pertambangan dan galian. Disisi lain terjadi ketimpangan wilayah sempurna,”sebut Sarmin Adam.
Dia mengatakan, industri penggalian dan pertambangan memiliki kontribusi terbesar pada perekonomian Indonesia, tetapi efek dominonya belum memiliki kontribusi terhadap masyarakat sekitar.
Untuk itu kedepan kata Sarmin Adam, perlu langkah dan upaya maksimal untuk mendorong sektor pertanian, perkebunan dan perikanan dan perlu hillirisasi untuk menopang sektor penggalian dan pertambangan.
“Misalkan yang terjadi saat ini di Maluku Utara untuk konsumsi beras di Maluku Utara setiap tahun mengalami pengingkatan, tetapi tidak diimbangi dengan produksi beras yang mengalami penurunan,”katanya.
Sesuai data BPS produksi padi pada 2022 yaitu sebesar 24.486 ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 3.565 ton atau 12,71 persen dibandingkan produksi padi di 2021 yang sebesar 28.051 ton GKG.
Petani di beberapa daerah pertambangan, lanjut Sarmin Adam tidak lagi ketertarikan menjadi petani sawah, malah lebih tertarik ke tambang Lelilef dan tambang di Pulau Obi. Sehingga problem terjadi penurunan angka produksi beras.
Untuk itu dia beraharap pada Kementerian terkait dalam melakukan perlunya hirillisasi pada sektor non tambang lebih focus pada karakter Maluku Utara yakni tani, nelayan dan kebun.
“Jadi misalkan adanya hirilisasi Pala, Ikan dan lainnya sesuai dengan karakte kita di Maluku Utara sebagai petani dan nelayan. Sehingga efeknya berputar di Maluku Utara. Perlunya pembangunan tematik kewilayaan. Jika tidak akan menjadi problem yang menggurita bagi kita di Maluku Utara,”ungkap Ketua Bappeda. (red)
Komentar