TERNATE,MALUTSATU.COM-Sungai Sagea atau lebih dikenal dengan Bokimaruru tak jauh dari lokasi konsesi PT Weda Bay Nickel berwarna kecokelatan. Apalagi setiap turun huja air sungai warna kecoklatan.
Dari ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, air keruh dari Sungai Sagea di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, itu menderas menuju lembah. Diduga berubahnya warna air sungai karena adanya aktivitas pertambangan di wilayah tersebut.
Adlun Fiqri salah satu pemuda asal Sagea, melalui keterangan persnya menyebutkan, meski sering keruh ketika terjadi hujan lebat, secara visual kekeruhan seperti saat ini berbeda dari sebelum-sebelumnya dan lebih mirip sungai-sungai yang telah tercemar sedimen tambang seperti Kobe dan Waleh.
“Keruhnya Sungai Sagea terjadi mulai akhir Juli, sepanjang Agustus hingga akhir September 2023. Terbaru, pada 23 – 25 Oktober kemarin Sungai Sagea mendadak keruh kekuningan,” kata Adlun.
Ia menjelaskan, jika menganalisis penyebab keruhnya Sungai Sagea, tentunya perlu menelusuri hingga ke hulu di Sagea Atas. Kami mengumpulkan foto citra satelit dari bulan Maret hingga Agustus mendapati ada bukaan lahan dan pembuatan jalan di wilayah Sagea Atas yang mana kawasan tersebut masuk dalam konsesi PT. WBN.
“PT. WBN merupakan perusahaan pertambangan nikel yang terintegrasi dengan PT. IWIP dan memiliki luas konsesi sebesar 45,065 Ha, dimana wilayah Sagea Atas (Jiguru, Bokimekot, Pintu, dll) juga termasuk di dalamnya,” paparnya.
Dari pantauan lapangan kata dia, terdapat pembuatan jalan untuk pengerahan alat untuk pengeboran atau eksplorasi oleh PT. WBN, sehingga indikasi kuat tercemarnya Sungai Sagea akibat dari aktivitas PT. WBN yang membuat jalan di atas anak sungai dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea.
Sebagaimana temuan Forum Koordinasi DAS Moloku Kie Raha yang tertuang dalam berita acara kunjungan lapangan mereka pada 26 sampai dengan 27 Agustus 2023, dalam poin 1 menyatakan bahwa: secara faktual di lapangan sudah terdapat perubahan biofisik yang disebabkan faktor non alam /antropogenik (aktivitas manusia); kemudian pada poin 4 yang berbunyi: berdasarkan sebaran IUP di sekitar DAS Ake Sagea, perlu dilakukan pengawasan terpadu dan objektif terhadap aktivitas pertambangan.
DAS Sagea memiliki luas 18.200,4 Ha (BPDAS Ake Malamo, 2023), yakni terdapat 3 sungai besar dan ratusan anak-anak sungai. Sayangnya ada 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sebagian konsesinya masuk dalam DAS Sagea, yakni PT. Weda Bay Nickel seluas 6858 Ha, PT. Dharma Rosadi Internasional seluas 341 Ha, PT. First Pasific Mining seluas 1467 Ha, PT. Karunia Sagea Mineral seluas 463 Ha, dan PT. Gamping Mining Indonesia seluas 2170 Ha. Dari 5 IUP di atas baru PT. WBN yang melakukan aktivitas di bagian hulu DAS Sagea.
“Persoalan keruhnya air Sungai Sagea tidak bisa dilepaspisahkan dari DAS yang telah dirusak oleh PT. WBN. Ketika turun hujan material tanah bekas bukaan lahan akan tererosi ke sungai,” ungkapnya.
Bagaimanapun, kata dia, aktivitas pembukaan lahan di wilayah DAS Sagea mesti diberhentikan karena besar kemungkinan erosi tanah terus terjadi mengalir ke Sungai Sagea dan akan sangat berpengaruh ke sistem sungai bawah tanah di kawasan Karst Sagea dan Gua Bokimoruru.
“Sungai Sagea adalah nafas dan harga diri kami, sungai yang selama ini kami jadikan sebagai sumber penghidupan dan dikeramatkan oleh leluhur kami. Untuk itu Koalisi Selamatkan Kampung Sagea atau #SaveSagea menuntut agar PT. WBN menghentikan operasinya di hulu DAS Sagea atau wilayah Sagea,” pungkas Adlun
PT WBN diminta melakukan restorasi dan rehabilitasi DAS Sagea, serta bertanggungjawab atas dampak dari pencemaran Sungai Sagea. Selain itu wilayah DAS Sagea harus dilindungi dan dikeluarkan dari rencana pertambangan PT. WBN. (red)
Komentar