oleh

Media Dibelah, Media di Tengah

“PESAN simpatik” saya temukan dari sebuah grup WhatsApp orang-orang media. “Stop memberitakan klaim keberhasilan penguasa. Yang harus dilakukan media adalah mengecek klaim keberhasilan itu…”

Kalimat itu mengingatkan tentang tujuan utama berjurnalistik — dalam aksen Bill Kovach dan Tom Rosenstiel — untuk menyampaikan kebenaran. Wajar kalau setiap saat wartawan dan media harus menyegarkan pikiran dan perilaku tentang disiplin verifikasi agar berita yang disajikan betul-betul akuntabel, bukan asal mengutip klaim-klaim apa pun dan dari siapa pun.

Akan tetapi, pesan simpatik di tengah kampanye Pemilihan Presiden 2019 itu terasa tidak paripurna ketika belum dilengkapi dengan pesan lainnya, “Stop memberitakan tudingan-tudingan dari rival petahana. Yang harus juga dilakukan media adalah mengecek kebenaran tudingan tersebut…”

Keberimbangan dua pesan itu sejatinya merupakan mekanisme standar dalam praktik berjurnalistik dan bermedia. Apabila “syariat” itu dinafikan, media mainstream akan menjadi tidak ada bedanya dari media sosial yang bagai medan bebas bagi siapa pun untuk mengklaim dan menuding apa pun.

Masalahnya, ketika dua kristal kekuatan politik bertarung, sejatinya mereka sama-sama memperlakukan media sebagai ajang berebut ruang klaim dan ruang menuding. Media, dengan aneka kepentingannya, juga merefleksikan sikap yang bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Masing-masing mengatasnamakan keyakinan pilihan, yang boleh jadi juga berkonsiderans idealistik demi kepentingan bangsa dan negara. Rakyat paling sering dibawa-bawa sebagai alamat jargon perjuangan untuk memperkuat justifikasi pilihan sikap.

 

Media Terbelah

Saat-saat berlangsungnya kontestasi politik kekuasaan selalu mengetengahkan kondisi realitas media yang terbelah. Media yang memilih berada di tengah malah bisa dituding miring oleh dua sisi kepentingan yang sama-sama tidak mendapat totalitas ruang menyuarakan ekspresi. Dari pandangan ini, mengecek kebenaran klaim atau menguji fakta dari berbagai tudingan bernilai sama dengan menerangi pikiran rakyat, mendudukkan perkara untuk membuat publik akhirnya menyimpulkan “oh, begitu…”

Dan, mekanisme itulah yang menuntun wartawan dan media, sebagai pendulum menuju penyajian berita yang bermuatan kebenaran, menjadi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jurnalisme akan mengalami pendangkalan makna apabila wartawan hanya menjadi penyampai verbal tentang “apa kata orang”. Akan terjadi bias manakala wartawan hanya mengutip dan memberitakan pernyataan elite, diikuti mencari tanggapan yang hanya menderetkan berita sebagai displai klaim versus reaksi, tudingan versus klarifikasi.

Pemaknaan sejati independensi dan netralitas media adalah bagaimana memberi jarak yang sama untuk lebih menggali dan menyajikan fakta, bukan semata-mata menuliskan statemen yang menggiring kepentingan pembentukan opini. Maka, bukankah dalam beberapa segi, pilihan sikap media untuk tidak memberitakan pernyataan yang berpotensi membelah pikiran dan sikap bangsa adalah juga bentuk ungkapan independensi?

Lalu dengan pertimbangan seperti apa newsroom patut memilih sikap untuk memberitakan atau tidak memberitakan sebuah statemen?

Yang selama ini sudah menjadi praktik media-media tertentu, tampaknya bukan berlandaskan pertimbangan idealistik tentang “kepentingan bersama”, melainkan lebih berbasis pada keputusan memilih di antara dikotomi sikap karena keberpihakan atas nama apa pun. Fenomena model berjurnalistik dan bermedia seperti ini terefleksi dalam Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

Bagaimana dengan kecenderungan Pemilu 2019?

Pesan yang mendorong pengecekan klaim-klaim keberhasilan penguasa, dan langkah memverifikasi tudingan-tudingan sang penantang, merupakan ajakan kembali ke perilaku etis yang secara konsisten patut ditekankan. Praktik jurnalistik jelas bukan kegiatan yang hampa nilai, karena melibatkan tujuan mulia membangun kepercayaan publik. Pengecekan, verifikasi, dan pikiran menjaga keutuhan bangsa untuk mempertemukan verbalitas pernyataan dengan fakta adalah jalan tengah mutlak dalam standar dasar berjurnalistik.

Boleh jadi, “roh” inilah yang sekarang menjadi perilaku “mewah”, karena kurang kita rasakan kehadirannya.

 

— Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah

Bagikan

Komentar