oleh

PROVINSI MALUKU UTARA 49 Tahun Perjuangan & 20 Tahun Ketidakpastian

1950-1999 — 49 tahun kontinum perjuangan provinsi Maluku Utara. Waktu yang sama dengan usia produktif manusia.

Ketika provinsi Maluku Utara terbentuk sebagai provinsi ke 27 di Indonesia melalui UU No. 46.1999, pada 4 Oktober, kemudian diresmikan 12 Oktober, rasa syukur dan sukacita menyeruak hebat.

Provinsi perjuangan ini memang provinsi yang pertama terbentuk di era reformasi. Sebelum itu, provinsi paling bontot adalah Timor Timur, dibentuk 17 Juli 1976, dan menjadi provinsi ke-27. Ketika hasil referendum rakyat Timor Timur memutuskan berpisah dari Indonesia 19 Oktober 1999, posisi Timor Timur digantikan oleh Maluku Utara.

Sangat disayangkan, sejak terbentuk sampai tahun ke-20 ini, kita seolah terus dihadang pertanyaan mengapa langkah provinsi ini begitu lamban. Belum beranjak jauh.

Kelambanan itu kian tampak ketika kita membandingkan dengan percepatan pembangunan pada beberapa provinsi yang dibentuk sesudah Maluku Utara; Banten (provinsi ke-28, 17 Oktober 2000), Bangka Belitung (provinsi ke-29, 4 Desember 2000), Gorontalo (provinsi ke-30, 22 Desember 2000), Papua Barat (provinsi ke-31, 21 November 2001), Kepulauan Riau (provinsi ke-32, 25 Oktober 2002), Sulawesi Barat (provinsi ke-33, 5 Oktober 2004) dan Kalimantan Utara (provinsi ke-34, 25 Oktober 2012).

Tentu parameternya adalah percepatan. Bagaimana perkembangan kondisi obyektif suatu provinsi sebelum dan sesudah dimekarkan. Dalam hal ini membandingkan keadaan Sofifi terhadap Gorontalo, Tanjung Pinang atau Pangkal Pinang bukan pada keadaannya, misalnya Sofifi cenderung kedesaan sementara ketiga ibukota tersebut kota atau kekotaan, tetapi focus perbandingan ada pada seberapa efektifnya perencanaan kebijakan dan anggaran serta kinerja pembangunan yang membawa perubahan dan atau peningkatan infrastruktur fisik, sosial dan ekonomi pada masing-masing ibukota.

Memang dimaklumi, Maluku Utara lahir dalam situasi konflik horizontal dan dampaknya yang luas. Tetapi terlampau apologistik bila waktu 5 tahun tidak cukup untuk kebijakan recovery.

Jika waktu 5 tahun cukup untuk recovery, maka 15 tahun seharusnya efektif untuk membangun provinsi ini. Namun kenyataannya hingga di hari peringatan HUT ke-20, 12 Oktober 2019, kita masih belum bisa secara meyakinkan menyebutkan satu saja bukti kesuksesan yang dapat disebut membanggakan, setidaknya memberi kita keyakinan kuat bahwa provinsi ini dibangun dengan kesungguhan dan dedikasi tinggi.

Fakta kelambanan terdekat adalah pada keadaan Sofifi yang sejauh ini tanpa percepatan berarti, tentu dengan tidak menutup mata terhadap beberapa keberhasilan pembangunan seperti perkantoran, bebarapa ruas jalan, pengembangan pelabuhan penyeberangan dan pelataran parkirnya, dan beberapa lainnya. Tetapi dalam segi penataan kawasan yang terencana dan tahapan pembangunan simultan yang memberi citra Sofifi sebagai ibukota yang representatif belum tampak.

Cita 1998-1999, bahwa penempatan posisi ibukota di Sofifi — centrum atau tengah Halmahera — diharapkan berimplikasi pada percepatan Sofifi sebagai kawasan tumbuh cepat karena akan menjadi simpul interaksi serta pergerakan manusia barang dan jasa, yang akan akseleratif dengan perkembangan wilayah-wilayah ibukota kabupaten/kota di sekitarnya.

Sejak di awal perjuangan pemekaran, diskursus memboboti konsep usulan pemekaran Maluku Utara berlangsung serius, termasuk rancangan pengembangan setelah pemekaran dan rencana peningkatan status sejumlah kecamatan menjadi kabupaten/kota seperti yang ada sekarang.

Didahului dengan peningkatan status Kota Ternate, dari kota administratif menjadi Kotamadya definitif, 20 April 1999, untuk memenuhi syarat minimal 3 kabupaten/kota dalam pembentukan sebuah provinsi.

Pada 2011, dimulai upaya pemekaran Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara, Selatan, Timur, dan Kabupaten Kepulauan Sula. Pada 25 Februari 2003, kabupaten/kota tersebut berhasil didefinitifkan.

Selanjutnya, nomenklatur Kabupaten Maluku Utara diubah menjadi Halmahera Barat dan ibukotanya dipindahkan dari Ternate ke Jailolo.

Demikian pula Kota Tidore dan Halmahera Timur dimekarkan dari Kabupaten Halmahera Tengah yang saat itu beribokota di Tidore, Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah tersisa 3 kecamatan: Weda, Patani dan Gebe. Ibukota Kabupaten Halmahahera Tengah dipindahkan dari Tidore ke Weda.

Pemekaran berlanjut hingga terbentuk Kabupaten Pulau Morotai, 29 Oktober 2008, dan Kabupaten Pulau Taliabu, 14 Desember 2012.

Sampai di sini terbukti betapa pemekaran provinsi Maluku Utara, bukan saja penting tapi strategis. JIka tidak, bisakah terjadi percepatan pemekaran begitu banyak kabupaten kota hanya dalam waktu yang singkat? Tidak!

Jadi, keinginan pembentukan DOB, baik yang baru wacana atau diskursus, hingga yang telah melalui proses politik di DPRD, seperti Kabupaten Pulau Obi, Kabupaten Galela Loloda, Kota Sofifi, dll, bukanlah mustahil, sepanjang dikomunikasikan secara baik antarpemangku kepentingan, terutama memiliki dasar kepentingan bersama yang kuat.

Kaitan itu, bijak bila para pihak yang memperjuangkan pemekaran atau DOB patut mengambil hikmah dari proses pemekaran kabupaten/kota sebagai bagian integral dari konsep pembenukan provinsi Maluku Utara yang terealisasi mulus, tanpa ketegangan apalagi konflik. Kesemuanya karena komunikasi dan koordinasi yang baik, juga didasari oleh kepentingan bersama yang meyakinkan.

Berikutnya, perlu diketahui, pertimbangan penempatan ibukota provinsi di Sofifi, erat kaitannya dengan skenario pemekaran kabupaten/kota di atas, untuk percepatan  pembanguan, pengelolaan dan pengembangan potensi sekaligus pemecahan permasalahan masyarakat di Pulau Halmahera, sebagai “Hale ma yora” (pulau utama, pulau induk) Maluku Utara. Juga potensi  di pulau-pulau sedang, yakni Morotai, Bacan, Obi, Sula, Mangoli dan Taliabu.

Lantas pemekaran kabupaten/kota diharapkan mempercepat wilayah ibukota kabupaten/kota berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru, yang diidelaisasikan berkembang besama, sejajar dan bersinergis dengan Sofifi, ibukota provinsi.

Jika cita dan ekspektasi itu mampu direalisasikan oleh para Gubernur yang bergantian memimpin Maluku Utara dalam kurun 20 tahun, maka rentang kendali antara Sofifi dengan ibukota kabupaten/kota sudah sangat efektif, yang berdampak posisitf pada percepatan pembangunan dan pelayanan masyarakat.

Namun disayangkan kenyataan sejauh ini seperti adagium “indah kabar dari rupa”, atau “jauh panggang dari api”.

Wilayah-wilayah ibukota kabupaten yang baru dimekarkan pada 2013 lebih baik perkembangannya ketimbang Sofifi. Padahal kapasitas fiskal provinsi sangat mendukung percepatan Sofifi, apalagi jika perencanaannya bersinergi dengan pemerintah Kota Tidore Kepulauan. Maka 15-20 tahun Sofifi pasti sudah berkembang jauh, setidaknya lebih baik dari keadaannya hari ini.

Tobelo, misalnya, di saat pemekaran Halmahera Utara pada 2013, keadaannya ibarat berada di posisi titik balik dari keadaannya sebelum konflik, yang disebut-disebut kota termaju kedua di Maluku Utara setelah Ternate. Tetepi kondisi memprihatin itu bisa dibenahi, ditata-bangun dan berkembang baik dalam waktu kurang dari 10 tahun. Bahkan Daruba, ibukota Pulau Morotai yang baru dimekarkan pada 2008 (9 tahun lebih muda dari Sofifi) berkembang relatif pesat dengan infrastruktur dan fasilitas perkotaan yang cukup representatif.

DIRGAHAYU KE 20 TAHUN PROVINSI PERJUANGAN MALUKU UTARA. BERUBAHLAH UNTUK MENGUBAH, JANGAN SAMPAI SEJARAH MENCATAT KITA TAK BERGUNA DAN SIA SIA. Semoga Allah SWT merahmati, memberi kita hidayah dan pertolongan….[msd] — bersambung ke Bag 2.

Bagikan

Komentar