SANANA,MSC-Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) mengingatkan kepada Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara mekanisme penanganan kasus pemberitaan diatur berdasarkan Undang-Undang Pers, tak seperti tindak pidana lainnya.
Hal tersebut ditegaskan Sekretaris Jenderal Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Mahmud Marhaba, menanggapi pemanggilan salah satu wartawan media online oleh Polres Kepulauan Sul
Sebelumnya, Satuan Reserse Kriminal Polres Kepulauan Sula telah melayangkan surat panggilan dengan perihal permintaaan klarifikasi kepada Irwan terkait berita berjudul “Kades Auponhia dan Dirut CV Sula Maju Jaya Diduga Sekongkol Tipu Warga” yang dilaporkan ke Polres Kepulauan Sula.
Di dalam surat tertanggal 12 November 2020 tersebut, dikatakan menindaklanjuti laporan Saudara Bambang Umafagur tanggal 18 Juni 2020, sehubungan dengan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media online yang terjadi pada hari Rabu, tanggal 17 Juni 2020.
Surat bernomor B/199/XI/2020/Reskrim yang ditandatangani Kasat Reskrim Polres Kepulauan Sula, AKP Paultry Yustiam itu meminta Irwan Fokatea untuk hadir guna dimintai klarifikasi pada Jumat, 13 November, pukul 10:30 WIT.
Marhaba mengatakan, persoalan tersebut merupakan ranah sengketa pemberitaan yang memiliki mekanisme penyelesaian sendiri melalui UU Pers. Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan diminta menggunakan hak jawab mereka. Jika masih merasa kurang, mereka juga bisa melaporkan ke Dewan Pers yang akan memanggil para pihak yang bersengketa.
“Kami ingin mendudukkan persoalan bahwa polisi tak bisa memproses laporan tersebut karena sudah ada MoU antara Polri dan Dewan Pers, apalagi pihak yang merasa dirugikan belum menyampaikan hak jawab,”kata Marhaba, Kamis (12/11/2020).
Mahmud mengatakan, apa yang disampaikannya selaku Sekjen JMSI ini bukan dalam rangka mengintervensi kinerja polisi, atau bahkan memberangus hak pelayanan hukum pelapor.
“Kami ingin agar penyelesaian ini dilakukan melalui mekanisme yang sudah diatur dalam UU Pers dan tak dipaksakan ke ranah pidana umum,”tukasnya.
Lebih jauh Marhaba menjelaskan, Pasal 4 dari Nota Kesepahaman antara Kapolri dan Dewan Pers menjelaskan bahwa para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Lanjutnya, dan pihak kedua apabila menerima pengaduan dengan perselisihan/ sengketa termasuk surat pembaca atau opini/kolom antara media/wartawan dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih/bersengketa dan/atau pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap, dan berjenjang mulai dari penggunaan hak jawab, hak koreksi pengaduan kepada pihak kesatu maupun proses perdata.
“Maka penting untuk diketahui oleh pihak kepolisian terkait dengan prosedur pengaduan ke Dewan Pers yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers,” ujarnya.
Mahmud Marhaba bilang, Peraturan Dewan Pers ini memberikan penjelasan terkait prosedur pengaduan hasil karya jurnalistik yang wajib dijadikan landasan berpijak pihak kepolisian dalam menangani laporan hasil karya jurnalistik.
Dalam hal kepolisian meminta keterangan kepada pihak media terkait hasil karya jurnalsitik, maka wajib untuk diketahui jika yang berhak memberikan keterangan adalah penanggungjawab media, bukan wartawan sebagaimana yang dilakukan oleh pihak Polres Tikep lalu. Tindakan memanggil wartawan untuk dimintai keterangan soal hasil karya jurnalistik adalah sebuah kesalahan prosedur yang dapat mengancam dan membahayakan sendi-sendi kemerdekaan pers dan hak asasi manusia.
“Jangan terulang lagi seperti kejadian di Maluku Utara. Beruntung Polda dan Polres Tidore Kepulauan cepat bertindak dengan menyerahkan persoalan ini ke Dewan Pers dan tidak meminta keterangan hasil karya jurnalistik kepada wartawan namun ke penanggungjawab atau pemimpin redaksi media bersangkutan,” tegas Mahmud yang juga Ahli Pers dari Dewan Pers. (azam)
Komentar