oleh

Haji Ngade dan Pemberontakan De Zeven Provincien

Oleh : Asghar Saleh,SE.ME

Pelabuhan Ulelheue. Panas menyengat di awal tahun. Januari tengah hamil tua. Marinir Machmud mengusap peluh. Matanya nanar memandang puluhan rekannya yang menyebar di atas geladak. Hari itu para marinir tengah membersihkan geladak kapal. Ada yang menggosok lantai, membersihkan meriam, menyingkirkan karat di beberapa tepian kapal. Machmud menepi bersama marinir lainnya yang tengah berbincang dengan suara berbisik. Raut ketegangan menonjol. Berhembus kabar dari radio, nun di Surabaya tengah terjadi pemogokan besar-besaran memprotes penurunan gaji prajurit yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Kegelisahan para marinir berujung pada sebuah rencana. Mereka akan melakukan rapat tertutup besok. Ijin disampaikan ke komandan kapal, Letnan Kolonel Laut Eikenboom. Agar tersamar, alasan merayakan Idul Fitri disampaikan. Ijin didapat. Lalu para marinir itu berkumpul di sebuah gedung bioskop di pusat kota Sabang.

Segalanya berjalan aman hingga muncul curiga karena 30an marinir Belanda dibawah komando Kopral Maud Boshart, ikut pula dalam perayaan Idul Fitri. Bukankah mereka Kristen?. Tak mau ambil resiko, Eikenboom pun meminta polisi Belanda mengawasi perayaan itu. Belum sempat menyelidiki lebih jauh, terjadi kebakaran hebat di pusat kota dan para polisi itupun memilih ke lokasi kebakaran. Rapat kilat langsung dilakukan. Hadir antara lain Kawilarang, Kaunang, Posuma, Sudiana, Supusepa, Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Tumena, Ahmat, Parinusa dan Manuputty. Machmud, marinir kelahiran Ternate juga ada di saat pidato-pidato keras menolak penurunan gaji serta dukungan terhadap aksi Surabaya dengan lantang disuarakan. Di ujung kegiatan, para marinir ini dengan lantang menyanyikan hymne perjuangan kaum buruh, Internazionale.

Untuk mengantisipasi terjadinya pergolakan di kapal HNLMS De Zeven Provincien, pada 31 Januari 1933, Eikenboom mengumpulkan semua awak kapal. Di hadapan ratusan marinir, Ia mengatakan seluruh anak buah kapal dilarang melakukan aksi mogok selama berada di atas kapal. Pernyataan Eikenboom memperparah situasi. keinginan berontak justru semakin berkobar. Persiapan dilakukan. Rencananya kapal perang terbesar milik Koninlijke Marine (AL Belanda) yang tengah lego jangkar akan direbut paksa lalu dibawa ke Surabaya. Mereka akan mendesak agar marinir yang ditahan dibebaskan.

Jika kapal perang berbobot mati 6500 ton dengan dua meriam besar di haluan dan buritan ini dikuasai maka dunia internasional pasti heboh. “Selama ini, saya sering mendengar para perwira kami mengejek bahwa kelasi-kelasi inlander tak lebih hanya penggosok tembaga saja. Mereka bilang, sebenarnya kalian sangat tidak pantas ada di sebuah kapal perang milik Kerajaan. Saya pikir, inilah waktunya untuk kawan-kawan membuktikan bahwa kaum pribumi pun dapat juga memimpin kapal perang dan menyumpal omong kosong mereka yang selalu menghina kita!” seru Boshart dalam pidato mematangkan pemberontakan seperti ditulis ulang dalam brosur “Muiterij in de Tropen”.

Sebagai komandan pemberontakan, para awak kapal memilih Jeremias Kawilarang. Ia dibantu oleh Rumambi, Gosal, Paradja, Tumuhena, Suwarso, Hendrik dan Boshart. Marinir Machmud diberi tanggungjawab soal senjata dibawah komando Martin Paradja. Desas desus pemberontakan bocor sana sini. Namun diabaikan dengan hinaan oleh Eikenboom. “Babi-babi itu hendak melarikan sebuah kapal yang begitu besar? Itu tidak masuk akal, sedangkan sebelah kanan kapal saja mereka tidak dapat membedakan dari sebelah kirinya, apalagi melarikan sebuah kapal yang begitu besar!.

Menurut M. Sapiya dalam bukunya, “Pemberontakan Kapal Tujuh”, tak ada antisipasi serius. Para perwira kapal malah mengadakan pesta dengan noni noni yang menghabisan 500 gulden. Ada juga pertandingan sepak bola antara marinir dan tentara KNIL yang bertugas di darat. Tanggal 4 Februari, komandan kapal dan para perwira kembali turun ke darat usai makan malam. Setengah jam setelah kepergian mereka, Kawilarang memerintahkan marinir Subari memeriksa semua pistol yang ada di ruangan perwira. Marinir Hardjosuria dibantu beberapa lainnya juga diminta memeriksa tempat penyimpanan gewerrek (senjata kokang) dan gudang amunisi meriam 28 cm.

Boshart dan beberapa marinir Belanda mengurusi mesin. Mereka menyusup lewat cerobong asap ke kamar mesin dan mulai menghidupkannya. Marinir Parinussa dan Suwarso mengawasi gerak para marinir Belanda yang dicurigai dan juga membantu menaikkan sekoci jika kapal berangkat. Tepat pukul 10 malam, salvo tanda dimulainya pemberontakan dilakukan dengan jalan meniup bootsmanfluitje (peluit serang) yang dilakukan oleh Kawilarang sendiri sebagai komandan tertinggi kapal. Seluruh perwira jaga yang tak ikut turun dapat dilumpuhkan. Semua ruangan dalam kapal akhirnya bisa dikuasai. Tersisa ruang radio yang masih belum aman. Kawilarang memerintahkan Boshart dkk untuk menanganinya. Begitu pasukan pemberontak sampai di ruangan radio, terlihat perwira Belanda bernama Baron Devos Van Steenwijk tengah menghardik seorang kelasi untuk segera menyiarkan terjadinya pemberontakan di atas kapal.

Dengan mengacungkan pistolnya, Boshart yang merupakan aktivis serikat buruh sosialis itu berteriak “Ga Weg, jij, of ik schiet (pergi dari situ atau kau aku tembak)!”. Baron Devos memilih menyerah. Namun ada beberapa perwira Belanda yang berhasil lolos dengan melompat ke laut. Sebelum lari, mereka sempat mengunci kemudi kapal, hingga tak bisa digunakan oleh para pemberontak. Di tengah kesulitan karena kemudi terkunci, Kawilarang sebagai kapten kapal dengan tangkas menggunakan dua buah mesin (stuurboord dan backboard) sebagai pengganti kemudi yang sudah lumpuh itu. Kapal De Zeven Provincien mantap melaju menuju Surabaya.

Hari kedua dalam pelayaran menuju Surabaya, De Zeven Provincien mengeluarkan berita radio yang dibacakan Rumambi. “Kapal perang ini kami ambil alih. Zeven Provincien pada waktu ini ada dibawah kekuasaan kami, anak buah kapal Zeven Provincien berbangsa Indonesia, dengan bermaksud menuju Surabaya. Sehari sebelum tiba kami akan menyerahkan komando kembali kepada komandan semula. Maksud kami melakukan aksi ini adalah untuk memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan ! Keadaan dalam kapal aman tidak ada paksaan dan tidak ada orang yang terluka”. Belanda sangat kaget. Kapal perang Aldebaren diperintahkan memburu De Zeven Provincien. Saat dekat, Kawilarang mengirim sinyal akan menembak. Kalah senjata, Aldebaren mundur. Habis Aldebaran muncul Goudenleeuw. Namun kapal perang penyebar ranjau ini hanya membayangi dari jauh.

Lima hari berlayar melewati pulau Simeuleu, Nias, Tapaktuan, Sinabang dan Mentawai, De Zeven Provincien memasuki Selat Sunda pada tanggal 10 Febuari 1933 saat matahari tersenyum hangat. Namun pagi yang cerah itu berubah mencekam karena kapal dikepung oleh tiga kapal perang, Goudenleeuw, Sumatera dan Java. dua kapal pemburu torpedo (Piet Hien dan Evetsen) dan dua skuadron Dornier (pesawat pemburu yang dilengkapi bom seberat 50 kg). Kapal perang Java yang dipimpin oleh Van Dulm memberikan ultimatum agar De Zeven Provincien menyerah. Alih-alih takut terhadap ultimatum tersebut, Kawilarang meminta meriam berdiameter 28 cm diarahkan ke Java. “Kami tidak mau diganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya”tegas Kawilarang.

Begitu ultimatum ditolak, terdengar dengungan mesin pesawat terbang Dornier D 11 di udara. Mereka mengirim pesan agar Kawilarang dkk segera menyerah saja. Sepuluh menit berlalu tanpa jawaban. Deru pesawat Dornier terdengar seperti ribuan tawon yang ingin menerkam mangsanya. Pesawat Dornier pertama mulai menukik dan membuang bom seberat 50 kg itu. Bom pertama hanya mengenai lautan biru Selat Sunda. Pesawat Dornier kedua datang. Menukik, bermanuver dan bergerak cepat menghunjam ke arah geladak kapal. Serentetan tembakan senapan otomatis menyambut serangan. Tembakan luput. Sebaliknya bom kedua yang dijatuhkan tepat mengenai geladak kapal.

Bunyi dahsyat mengerikan pun terdengar diiringi jeritan para marinir pemberontak yang tengah bertahan di atas geladak. Pelupessy yang tengah bertahan dengan senapan otomatisnya mendapat luka-luka cukup parah. Namun ia sempat melihat rekannya, Sagino yang kehilangan sebelah mata mendekati dirinya sambil berkata lirih namun tegas, “Pessy tolong aku, inilah nafasku yang penghabisan, aku yakin Kerajaan Belanda tidak lama lagi akan tamat riwayatnya. Dan bagi kita, tempat ini bukan Selat Sunda tapi Selat Kapal Tujuh!”. Sagino kemudian gugur bersama Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, Simon dan Paradja.

Usai dihantam bom, kondisi kapal lumpuh. Saat para marinir bahu membahu membentuk pertahanan. Machmud menyaksikan sebuah bom kembali meluncur dari udara, menimbulkan desis mengerikan dan langsung memusnahkan sebagian marinir yang masih bertahan. Kawilarang melihat para marinir tergeletak di atas geladak dengan tubuh yang sudah terbagi-bagi menjadi potongan-potongan kecil. Ada yang terbakar, ada yang berguling-guling dan mandi darah dengan luka-luka yang sangat mengerikan. Berhitung akan jatuh jumlah korban lebih banyak, Kawilarang memberi perintah berhenti melawan. De Zeven Provincien takluk.

Marinir asli Indonesia lantas diangkut dengan kapal perang Java sedangkan yang berbangsa Belanda diangkut dengan kapal Orion. Kapal pemburu Eversten mengangkut para marinir Indonesia yang gugur dan kemudian dimakamkan secara massal di pulau Kelor. Marinir Belanda dimakamknan di pulau Bidadari. Semuanya di kawasan kepulauan Seribu. Para pemberontak yang masih hidup diborgol dengan rantai dan dimasukkan ke dalam kamp tawanan di pulau Onrust. Sebuah pulau karang bekas galangan kapal VOC yang terletak di sebelah utara Jakarta. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah barak yang dikelilingi tembok setinggi orang dewasa dengan atap terbuat dari seng. Diantara atap dan tembok terdapat ruang kosong setengah meter yang ditutup dengan kawat berduri.

Peraturan di barak tersebut sangat ketat. Setiap lima tawanan diborgol secara berantai. Jadi jika ada salah seorang tawanan yang ingin mandi atau buang hajat misalnya, otomatis keempat tawanan lain yang terhubung dengan rantai harus ikut pula. Di Onrust juga diterapkan peraturan. Siapa saja yang melalui ruang terbuka akan ditembak tanpa peringatan. Jikalau membuat ribut, maka granat tangan akan dilemparkan tanpa peringatan kedalam barak!. Tindakan ini diambil juga terhadap tahanan yang berani tertawa atau berbicara dengan suara keras. Meski ditekan dengan perlakuan yang tidak manusiawi, para tawanan tidak mau menandatangani pernyataan bersalah.

Tujuh bulan lamanya para marinir ini termasuk Machmud menjadi penghuni “neraka” Onrust. Pada 19 September 1933, mereka dipindahkan ke penjara Sukolilo kecuali Kawilarang dan Boshart yang dianggap bertanggungjawab dan ditahan di Batavia. Dalam catatan Departemen Van Marine, ada sekitar 545 marinir Indonesia dan 81 marinir Belanda yang ditahan terkait pemberontakan di kapal De Zeven Provincien. Kawilarang dihukum 17 tahun penjara. Saat memberi pernyataan di hadapan Mahkamah Militer Belanda, Kawilarang menegaskan sikapnya. “Dihukum mati pun saya merasa bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda”.

******

Ternate, pertengan tahun 1907. Langit di bagian barat bersaga merah. Gemuruh disertai dentuman menggelegar saling bersahutan. Haji Ali Buamona gelisah. Raut mukanya cemas. Sangaji Fagudu dari Sanana ini berjalan mundar mandir. Hatinya risau bercabang, memikirkan amukan gunung Gamalama yang tak berhenti atau istrinya yang juga masih berjuang melewati masa kritis. Hari hari itu, Gamalama tengah murka. Dampaknya nyaris seluruh penduduk di utara kota mengungsi ke bagian selatan. Haji Ali dan istrinya yang hamil tua memilih Ngade, desa kecil di tepi sebuah danau besar. Badan Kegunungapian mencatat, erupsi Gamalama saat itu adalah satu satunya erupsi samping dari rekahan kawah utama dan terbesar. Ratusan ribu kubik lava panas menerjang bagian utara. Mengalir menuju pantai. Berbulan kemudian, bekas lava itu menghitam. Memutus jalan. Kita mengenalnya kini dengan nama batu angus.

Saat kritis itu berlalu ketika tangisan bayi memecah gemuruh Gamalama. Haji Ali bergegas masuk kamar. Istrinya, perempuan asli kampung Makassar tersenyum lemah. Anak laki laki. “Ngade!!, desis Haji Ali saat memeluk puteranya. Belakangan bayi laki laki yang jadi anak tunggal ini diberi nama lengkap Machmud Haji Ali. Tak ada catatan pribadi yang bisa diungkap seputar masa kecil Machmud. Dimana dia bersekolah misalnya. Yang pasti keluarga kecil ini menetap di Ternate dan tak lagi kembali ke desa Fagudu.

Nama Machmud Haji Ali saya dapat langsung dari cucu satu satunya, H. Muhammad Buamona (Haji Ama). Pensiunan pejabat Pemda Maluku Utara ini kaget ketika pertama kali saya telepon dan menyampaikan niat ingin berdiskusi ringan soal kakeknya.

Dalam buku Kepulauan Rempah Rempah, “Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950” halaman 353, Adnan Amal menyebut nama Haji Ngade. Tokoh ini menghabiskan masa remajanya di Ternate sebagai aktifis Sarekat Islam (SI) Merah dibawah bimbingan AM Kamaruddin alias Oom Sau dan Daniel Bohang. Saat berusia 22 tahun, Haji Ngade masuk Angkatan Laut Belanda. Posturnya yang tinggi, berkulit putih dan wajah mirip bule mempermudah jadi marinir. Sayangnya, Adnan Amal tak menjelaskan lebih jauh siapa Haji Ngade. Senator Syaiful Bahri Ruray dalam bukunya “Balada Republik Wonge” menyebut nama Haji Ngade yang tak lain adalah Machmud Haji Ali. Namun sama seperti Adnan Amal, masa kecil Haji Ngade juga tak banyak diungkap.

Meski begitu, dari keterangan cucunya, saya memastikan yang dimaksud dengan Haji Ngade adalah Machmud Haji Ali. Saat berusia 26 tahun, putera tunggal Sangaji Fagudu ini bekerja di kapal De Zeven Provincien. Sebagai marinir, Machmud terlibat dalam pemberontakan kapal perang Belanda 4 – 10 Februari 1933. Nama Ngade sendiri diberikan ayahnya sebagai penanda kelahirannya di Ngade saat Gamalama meletus besar 1907. Tak ada keterangan tanggal dan bulan kelahiran. Wawancara dengan keluarga juga tak banyak membantu. Haji Ama mengakui, pihak keluarga hanya tahu dari cerita jika kakeknya bekerja di kapal perang Belanda. Beberapa jejak keluarga coba saya telusuri mulai dari Kampung Makassar hingga Rua tetapi buntu. Hanya ada satu foto tua dibuat tahun 1961 yang menunjukan Haji Ngade bersama keluarga besarnya berpose di depan rumah kampung Makassar, tepat berhadapan dengan toko Beringin Jaya saat ini. Ketika menziarahi kuburnya di kompleks Pekuburan Islam, pusara Haji Ngade hanya mencatat waktu wafat, 17 Agustus 1974.

Haji Ama bercerita, kakeknya jarang bicara dan tertutup soal masa lalunya. Namun sikap tegas dan disiplin ala marinir tak hilang. Usai menjalani hukuman penjara akibat terlibat pemberontakan Kapal De Zeven Provincien, Haji Ngade pulang ke Ternate. Ia memilih berdagang. Jualannya adalah mainan imitasi berupa cincin dan gelang serta pernik lainnya yang disepuh dengan emas. Setiap hari, Haji Ngade berjualan di depan pasar sayur gamalama (depan benteng orange) dengan bermodal satu kotak kayu berisi jualan. Orang ramai tak mengenalnya sebagai bekas marinir pejuang. Jika malam tiba, Ia akan berkumpul dengan sesama aktifis pergerakan kemerdekaan. Ia ikut serta membesarkan perkumpulan Muhammadiyah di Ternate bersama Abdullah Petrana dan Luth Haji Ibrahim.

Subhan Petrana, dosen Universitas Khairun Ternate ketika saya temui mengaku pernah mendengar nama Haji Ngade dan aktifitas pergerakan ini dari cerita kakeknya, Abdullah. Kampung Makassar saat itu memang jadi pusat pergerakan Muhammadiyah. Warisan milenial yang bisa secara fisik dilihat hingga saat ini adalah mesjid Muhammadiyah. Hampir saban malam dilakukan pertemuan. Tak elitis karena siapa saja bisa bergabung. Semua diskusi berlangsung egaliter. Kemajuan Islam dan Indonesia Merdeka jadi fokus utama.

Selain berjualan kecil kecilan di Ternate, Haji Ngade juga sering berdagang lintas pulau sekalian mengembangkan syiar Islam dan menyebar gagasan Indonesia Merdeka. Tak aneh, jika pasangan hidupnya ditemukan di kawasan Ekor, Halmahera Timur. Seorang perempuan Kristen jatuh cinta padanya dan ikut memeluk Islam. Saudah Ambiua namanya. Mereka menikah dan diberi satu anak perempuan bernama Manawiyah. Hajjah Manawiyah adalah ibunda dari Muhamad Buamona.

Haji Ngade menurut saya sangat layak ditulis dalam sejarah besar Ternate. Sejarah mencatat, efek dari pemberontakan kapal De Zeven Provincien sangat dahsyat bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Berita pemberontakan ini jadi headline koran di New York hingga London. Mengguncang dunia. Disebut mirip pemberontakan di kapal perang milik Tsar Rusia, Potemkin tahun 1905 sebagai bentuk protes terhadap kesewenangan penguasa yang membuat rakyat sengsara. Di Surabaya, harian Soeara Oemoem milik Dr. Soetomo yang menulis pemberontakan ini dibredel Belanda. Gubernur Jenderal Belanda di Jawa, Cornelis De Jonge ditegur keras. Belanda malu besar.

Suyatno Kartodiredjo dalam bukunya “Pemberontakan Anak Buah Kapal Zeven Provincien Tahun 1933” menyebut Peristiwa Kapal Tujuh merupakan salah satu episode dari sejarah panjang pergerakan nasional di Indonesia. Ini adalah pemberontakan pertama terhadap Belanda yang dilakukan Angkatan Laut Indonesia. ”Getarannya bahkan terasa sampai ke tingkat tertinggi pimpinan politik negeri Belanda saat itu,”tulisnya. Heroisme para pelaut Indonesia yang mayoritas berasal dari Maluku dan Sulawesi Utara juga menginspirasi para tokoh dan pergerakan rakyat yang menuntut merdeka. Belanda ketakutan, PNI dan kaum sosialis komunis dituduh sebagai penghasut. Hatta dan Syahrir ditahan. Soekarno dibuang ke Ende.

Dalam perspektif Indonesia yang lebih milenial, peristiwa Pemberontakan De Zeven Provincien 86 tahun lalu harus dibaca sebagai gugatan terhadap negara yang selama ini abai terhadap dua substansi penting yang mengokohkan hidup berbangsa. Pertama, penghargaan negara terhadap mereka yang berjuang tanpa pamrih. Menurut Sultan Tidore, Husain Syah, negara dengan segala sumber daya dan kekuasaan harusnya menjadi aktor utama untuk menelusuri rekam jejak para tokoh bangsa yang sudah memberikan segalanya untuk Indonesia Merdeka. Bukan sebaliknya membuat regulasi yang menyusahkan hanya untuk mendapat sebuah pengakuan sebagai pahlawan nasional. Membiarkan para keluarga, kerabat dan anak cucu para pejuang besar ini sendirian mengumpulkan jejak, sketsa dan cerita masa lalu untuk dijadikan bahan di sidang sidang negara sebagai sebuah syarat. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Bagi saya, frasa ini terasa sangat ambigu karena Bangsa atau Negara dalam imajinasi kita malah melupakan para pahlawan.

Yang kedua, saya mengutip pernyataan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, sudah saatnya negara melakukan otokritik besar yang berujung pada pembagian yang adil berupa penghargaan kepada para pahlawan yang berjuang di laut. Indonesia adalah negara maritim terbesar. Jejak kepahlawanan kita sejak abad ke 12 adalah jales veva jaya mahe. Sangat ironis jika para pahlawan kontinental atau mereka yang berjuang di daratan – lebih banyak lagi dari tanah jawa – mendapat banyak kemudahan untuk jadi pahlawan nasional. Sementara jauh di sini, Sultan Baabullah, Khairun, Zainal Abidin Syah, Banau, Oom Sau, Haji Ngade, Haji Salahuddin dan lain lain terus dilupakan dalam sunyi.

Sungguh saya ingin menulis cerita Haji Ngade ini biar jadi kebanggaan anak muda Ternate. Membuat mereka yang punya kuasa tergerak untuk menceritakannya lagi dalam monumen kebangsaan yang hidup. Tak salah jika misalnya ada nama jalan yang mendedikasikan perjuangan Haji Ngade atau nama kapal, dermaga, gedung di markas TNI AL Ternate yang menyematkan nama ini. Dengan itulah kita memelihara ingatan. Sejarah adalah narasi dan kehendak rasional. Sejarah hadir ketika kita membutuhkannya sebagai sebuah ornamen kebanggaan. Seperti pengakuan bangsa ini terhadap testimoni penuh patriotisme para marinir itu, ” Di kapal ini, Kapal Tujuh yang bersejarah, sejak tanggal 4 hingga 10 Februari 1933, kami (anak buah kapal) telah lebih dahulu mengalami kemerdekaan kita. Kemerdekaan Bangsa Indonesia!!

Bagikan

Komentar