oleh

LOKULAMO

Muhlis Ibrahim.

(Kordinator Konsorsium Advokasi Tambang) Maluku Utara.

“Ketika hujan tidak punya lagi bukit dan hutan, curah air tak punya tempat untuk menyerap dan menyimpan, pasti ada kekuatan keji yang bekerja”.

PULUHAN video dan foto-foto menyebar luas sejak minggu sore kemarin di jejaring percakapan, juga media sosial. Isinya : Banjir besar melanda wilayah lingkar tambang PT Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP), dan PT Tekindo di Lelilef, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Puluhan rumah terendam banjir, masyarakat mengungsi. Kendaraan bermotor dan sejumlah alat berat juga ikut dihantam banjir. Ratusan karyawan pekerja terdampak banjir diliburkan.

Secara pelan-pelan air mulai merayap masuk dan mengepung wilayah Lelilef selama beberapa hari. Air datang sebagai perusak yang dingin dan diam. Melumpuhkan semua aktivitas. Desa Lokulamo barangkali yang terparah.

Ini adalah cerita tentang sebuah wilayah yang dihancurkan oleh kekuatan jahat yang tak nampak tapi ganas.

Dari sini kita kemudian menayadari bahwa tiap pohon yang tumbang, jutaan metrik ton tanah diangkut, serta aliran air yang dirusaki, pada akhirnya akan menghimpun sebuah daya yang membalik dan destruktif.

Tapi apa mau dikata bila modal, mesin dan birokrasi sudah bersekutu dalam diam dan ganas. Panji investasi telah lama tertancap kokoh dan gagah.

Air, kelumpuhan, juga katakutan. Bayangkan, Wilayah Lelilef Kabupaten Halmahera Tengah adalah salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi di Provinsi Maluku Utara, sebuah ruang hidup dengan bangunan industri megah, kebudayaan masyarakat yang luhur, birokrat yang solid, lulusan serjana dan teknokrat yang cerdas, juga aktivis-aktivis yang militan, akan tetapi kini rentan dan takut dibawah hujan.

Lokulamo memang layak gentar kepada alam yang masih agung dan misterius. Tapi Lokulamo: ia lumpuh bukan di hadapan gempa tektonik yang besar, bukan puting beliung yang bengis, juga bukan tsunami. Dengan kata lain, ia adalah sebuah wilayah yang dibuat tak berdaya.

Apakah para penegak hukum akan mengadili penjahat yang mendapat uang berlebihan seraya menghancurkan wilayah Lokulamo Lelilef? Agak mustahil. Sebab kekuasaan sebagai satu-satunya alat yang diyakini bisa menghentikan kejahatan, dalam benak masyarakat telah jauh dan ghoib.

Barangkali kini masyarakat Lokulamo Lelilef mulai merasa tidak nyaman ketika mendung menyelimuti gunung, dan mulai waspada akan petir. Seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari langit. Sebab setiap kali hujan turun mereka tahu apa yang akan terjadi: Desa meraka berubah menjadi kolam, jalan jadi sungai kembali, mungkin lebih luas dan deras. Rumah, toko, bengkel, tempat kerja, akan terendam air. Tidak ada lagi transportasi. Tidak ada lagi pedagang, tak ada buruh. Yang ada hanya pengungsi.

Banjir telah surut. Masyarakat sudah kembali mengais-ngais nafkah dari sisa kerusakan yang ada. Dalam benak, mungkin ada yang marah karena mereka tahu bahwa banjir ini adalah anak haram birokrasi yang busuk dan bisnis yang tamak. Tapi setelah itu mereka tak berdaya dan diam.

Bumi, tanpa kita sadari, mengenal ritme, kejutan, keakraban, keterpautan yang intens dengan kita. Bumi yang menyebabkan hujan seakan-akan berbicara nyaman, bukan terancam, bukan mengancam. #

Bagikan

Komentar