oleh

Habibie, Kita dan Demokrasi Di Atas Pasir

Oleh : ASGHAR SALEH

Senin pagi 4 Oktober 1999, Bachruddin Jusuf Habibie bergegas ke Istana Negara. Sebagai Presiden RI, ada banyak tugas yang harus diselesaikan termasuk menandatangani beberapa dokumen negara. Saya membayangkan Habibie saat itu pasti membaca dengan sungguh, matanya yang bulat berbinar, senyum khasnya sumringah, dia mengenal nama daerah ini, ada banyak sejarah besar disana. Lalu dengan ucapan Bismillah, Ia membubuhkan tanda tangannnya di atas sebuah Undang Undang. Belakangan UU itu diberi nomor 46 dan berjudul Pembentukan Propinsi Maluku Utara (lengkapnya bersama Kabupaten Buru dan Maluku Tenggara Barat).

Syaiful Bahri Ruray, politisi Golkar yang menyusun makalah perjuangan pembentukan propinsi Maluku Utara dan diseminarkan 27 Oktober 1998 mengakui, dirinya atau tim yang dibentuk tak sempat bertemu Habibie. Loby agar usulan propinsi disetujui dilakukan melalui tangan Akbar Tanjung (Ketua DPR) dan AA Baramuli (Ketua DPA) saat itu. Itupun setelah keduanya ditelepon dua senior HMI, Dahlan Ranuwiharjo dan Ahmat Tirto Sudiro. Karena itu, Syaiful yakin jika bukan Habibie yang jadi Presiden, UU propinsi Maluku Utara yang sudah diperjuangan sejak Indonesia merdeka, sangat mungkin tak akan ditandatangani.

Habibie di bulan Oktober itu juga tengah dalam tekanan. Banyak isyu menyebar, lelaki kelahiran Pare Pare ini akan ditebas langkahnya. Meski publik dan bahkan dunia internasional menyanjungnya dengan banyak hormat, para politisi tetap menganggapnya jadi duri.

Habibie sadar itu. Dalam diskusinya secara terbatas dengan beberapa tokoh, Ia mengakui tak pernah dikehendaki Soeharto. Secara pribadi, Iapun tak punya bayangan akan jadi orang nomor satu di Republik yang Ia cintai tanpa jeda. Tapi sejarah yang menuntunnya. Ia naik mengganti Soeharto yang mundur karena tekanan mahasiswa dan rakyat. Hanya dalam 512 hari, Habibie membuat banyak orang terhenyak, ada yang takut, ada yang kagum dan ada juga yang mulai menganggapnya rival berbahaya dalam politik Indonesia.

Dalam waktu 512 hari itu, Habibie membuat ekonomi Indonesia berangsur stabil, nilai rupiah yang tak terkendali  hingga 17.000/US dollar dibuat jadi 6.500.  Lalu banyak tapol dibebaskan, kebebasan pers dibuka lebar, orang bebas berkumpul dan membentuk partai politik. Pemilu diadakan secara jujur dan terbuka.

Di Ternate, tanpa harus sibuk bikin SIUPP, ijin sana sini, menyurat ke Deppen dan PWI, sekumpulan anak muda rapat lalu membentuk media lokal. Bentuknya tabloid dan namanya Ternate Post. Media ini belakangan berkontribusi sangat besar dalam perjuangan pembentukan propinsi Maluku Utara. Di sisi lain, mimpi Habibie agar orang bebas berpendapat dan ditulis media secara terbuka terwujudkan dalam skala kecil di Maluku Utara. Pelakunya Ternate Post.

Sayangnya, politik itu tentang sekelompok orang yang punya kuasa dan mengatur atas nama rakyat. Saat banyak prestasi hebat dibuat, Habibie tetap jadi “musuh” diantara para demagogis.  Bisa jadi Ia juga tak disukai karena sosoknya adalah satu satunya Presiden RI yang bukan berasal dari Jawa sebagaimana mitos kepemimpinan yang dipercaya secara turun temurun.

Sepuluh hari setelah Habibie menyetujui UU untuk kita, dengan langkah tegar Ia mendatangi gedung MPR. Hari itu, 14 Oktober 1999, dalam Sidang Istimewa MPR,  Habibie  memasuki ruang sidang istimewa MPR yang dipimpin oleh Amien Rais  dan disambut teriakan Huuuuuuuuuu yang panjang dan berulang kali  dari anggota yang terhormat.

Di layar TVRI yang menyiarkan acara ini, sang Presiden bahkan tetap disoraki saat membacakan laporan pertanggungjawabannya.  Di meja pimpinan, Amin Rais dan koleganya diam menikmati ritual yang tak pernah ada sebelumnya dalam sejarah sidang sidang MPR

Hampir sejam Habibie menyampaikan pidato yang berisi keberhasilan Indonesia yang mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi dan politik pasca tumbangnya Soeharto, tapi tak sekalipun applause tepuk tangan menyambut pidatonya.

Justru, berulang kali pidatonya terinterupsi oleh suara gaduh dan teriakan. Tak ada teguran dari pimpinan sidang. Mereka yang tak protes memilih tidur di kursi empuknya.

Mudah ditebak hasil Sidang Istimewa ini. 20 Oktober 1999, palu sidang yang diketok Amien Rais, menyatakan secara bulat penolakan pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden. ia dianggap gagal mengemban amanat rakyat. Gagal!

Saya tak akan menulis ulang banyak cerita sukses Habibie di sains dan tekhnologi, juga soal kebebesan pers, kebangkita ekonomi,  referendum Timor Timur, kisah cinta abadinya dengan Ainun atau banyak lagi tak terhitung yang sudah dihafal publik. Bagi saya, Habibie lebih dari itu. Ia tak hanya bicara tapi mengerjakannya secara teliti, runut dan tuntas. Malam setelah sidang MPR yang penuh cemohan, Habibie berpidato dan pamit dari dunia politik. Ia tak pernah kembali meski banyak yang datang meminta. Ia punya segalanya untuk kembali tapi memilih konsisten untuk jadi “pengingat” di belakang panggung. Ia bukan bagian dari mentalitas pejabat yang tak terima disebut mantan dan masih berhasrat besar kembali berkuasa. Ia juga tak sekedar mengajarkan tetapi melakukan dengan sungguh sebuah titah suci dalam politik bahwa kalah harus diterima dan menang tak perlu dirayakan melebihi batas.

Goenawan Muhammad mencatat ke”sufi”an Habibie sesaat setelah dirinya kalah dan dihinakan oleh sesama anak bangsa di gedung MPR (Tempo, 25 Oktober 1999). Ia datang. Tak lari seperti orang kalah.

Habibie tetap di sana. Mukanya tetap meriah dan matanya bundar berpendar, senyumnya lebar. Ia duduk di samping presiden yang baru. Wajah itu wajah orang yang tak kehilangan apa-apa. Terlalu sulit untuk menduga apa yang ada di lubuk hati orang, tapi sikap ceria presiden yang dikalahkan itu_di antara kursi-kursi di Senayan itu—merupakan cerita baru tentang politik Indonesia.

Saya beruntung menyaksikan secara langsung prosesi yang luar biasa ini meski cuma dari layar tv.

Habibie menurut saya sebanding dengan Nikita Khrushchev. Saat dunia diambang perang nuklir,  Presiden Uni Sofyet,  negara yang tak punya ruang untuk demokrasi ini, bersedia kehilangan muka. Peluru peluru kendali yang sebelumnya ditaruh di Kuba dan membuat Amerika meradang, diangkat dari negeri itu.  Kalahkah Kremlin? Khrushchev memberi jawaban yang selayaknya dikenang sebagai salah satu mutiara pada milenium ini: “Orang bicara tentang siapa kalah dan siapa yang menang. Akal sehat yang menang. Umat manusia yang menang.”

Masihkan kita juga “menang” saat ini di Maluku Utara?. 20 tahun setelah Habibie menandatangani UU itu, yang dinikmati sebagai kemenangan hanyalah perubahan nama. Kita lepas dari Maluku. Punya pemerintahan sendiri, ikut mekar pula beberapa kabupaten dan kota yang baru. Beberapa calon daerah otonom baru tengah menunggu daftar lahir. Tetapi ibukota kita masih desa. Masih banyak orang miskin. Sekolah masih susah dan  aksesnya terbatas. Orang sakit belum semuanya terlayani. Kita lebih suka berdebat daripada berkarya. Kadang masih terkagum kagum saat banyak pejabat dari luar datang memberi komentar yang memabukkan tentang potensi dan kelebihan daerah ini. Lalu kekaguman itu berubah jadi romantisme karena kita tak berbuat apapun.

Dalam perspektif lain, demokrasi yang komparatif dan dinilai mapan juga mulai goyah. Di awal ketika Habibie melepasnya, demokrasi kita sangat baik, on the track. Otonomi misalnya diperluas untuk mempercepat sejahtera dan tak terpusat di pusat.

Kemarin, mayoritas orang sepakat, kedaulatan dan kebebasan jadi utama. Setelahnya kondisi akan stabil dan ekonomi tumbuh. Namun, saat ini banyak orang mulai berpikir, kebebasan terlanjur merusak. Stabilitaslah yang dibutuhkan dan pertumbuhan ekonomi jadi prioritas.

Olle Tornquist dari Oslo Univercity menyebut, demokrasi saat ini telah tumbuh seperti industri. Butuh indikator untuk menilainya sama seperti kita mengukur pertumbuhan ekonomi. Ia menyebut ada enam indikator itu antara lain : kebebasan HAM, perbaikan tata pemerintahan, indeks demokrasi, audit demokrasi, kondisi sosial ekonomi dan partisipasi publik. Dari semua indikator itu, ada kecenderungan kita mulai mandeg. Tak lagi berkembang atau malah mengalami kemerosotan.

Dalam realitas demokrasi Indonesia, meski sistimnya terbuka dan kebebasan dalam memilih dijamin tetapi hanya mereka yang kuat dan punya uang yang menang. Politik gagasan belum sepenuhnya diterima. Kita seperti berdiri di atas pasir yang memang tak pernah kokoh.

Publikasi Bappenas tentang Indeks Demokrasi di Maluku Utara tahun 2018 misalnya memberi catatan yang belum sepenuhnya baik jika tak diakui sebagai buruk. Hampir semua instrumen yang dinilai, posisi kita dibawah rata rata nasional. Selain itu, ada masalah lokal yang belum terurai.  Saat Pemilu Presiden atau Pemilu Legislatif di tahun  2009 dan 2014. Indeks kita mencapai angka 67,29 (2009) dan 67, 90 (2014). Capaian ini turun saat Pilkada secara langsung untuk memilih Bupati Walikota diadakan yakni berkisar pada 59, 92 untuk tahun 2010 dan 61, 52 di tahun 2015.

Angka ini patut buat kita khawatir. Saya menduganya ini berkaitan dengan masih maraknya politik identitas dimana isyu kesukuan dan agama jadi pembeda. Lalu ada berbagai penolakan terkait hasil pilkada  yang berujung pada konflik komunal. Selain itu, politik berdasarkan kewarganegaraan dimana tema NKRI sebagai pemersatu belum jadi basis ideologi maupun praktek.

Tahun depan, daerah ini kembali sibuk dengan pesta demokrasi lokal. Ada delapan daerah yang melaksanakan pilkada. Apakah kita akan menyambutnya dengan gembira? Hasil riset Asia Institute di Universitas Melbourne (Kompas,Juli 2019) sebaiknya jadi pengingat.  Demokrasi Indonesia termasuk kita di Maluku Utara sejatinya masih berkelindan dengan tiga masalah besar.

Pertama, ketimpangan sosial yang makin melebar.  Kedua, kesalehan beragama yang makin meningkat dan cenderung dijadikan kendaraan dalam mencapai tujuan politik secara parsial, dan Ketiga, masih suburnya politik identitas yang terus dipupuk. Dalam banyak kasus, keributan elit dipanggung utama jadi menyakitkan karena jauh dari masalah masalah rakyat. Di panggung belakang, rakyat masih saja jadi figuran, kadang diperlukan kadang dikorbankan.

Jangan sampai, komunalisme dalam wajah kesukuan dan agama jadi pembatas ketika orang harus memilih dengan bebas. Identitas lokal berubah jadi mesin pemaksa. Lalu kita memilih tanpa melihat kualitas dan kesungguhan para calon kepala daerah untuk membangun negerinya. Jangan pula perbedaan jadi sesuatu yang menghancurkan lewat pernyataan atas nama kepentingan politik.

Penyair Habel Rajavani memberi batas, dalam politik kadang kala semua pernyataan bukan hanya berlari terlalu cepat, Ia bahkan berlari sendiri meninggalkan sumber pikirannya.

Mari bergandengan tangan mensyukuri nikmati daerah otonomi ini dengan tekad kerja bersama. Maluku Utara butuh kerja nyata dari semua orang tanpa kecuali. Entah politisi, petani, nelayan, mahasiswa, pegawai negeri, atau penggangguran. Bumikan marimoi ngone futuru  biar Habibie bisa terus tersenyum bahagia bersama Ainun di atas sana.

Selamat Ulang Tahun Maluku Utara..

Jarod Cafe 15/09/19

Bagikan

Komentar