oleh

Relawan Bencana Di Pulau Terluar

Catatan : ASGHAR SALEH (Direktur LSM Rorano)

Malam belum lagi setengah jalan. Mayau, kelurahan berpopulasi terpadat di kecamatan Batang Dua dipeluk sepi. Di kejauhan, lolongan anjing sesekali riuh. Jarum jam tepat di pukul 01.17 saat bumi berderak. Lalu berguncang dengan keras. Durasinya lama. Alprens Poene melonjak bangun. Kantuknya hilang melihat bola lampu di kamarnya bergerak liar. Gempa!!, batinnya sambil membangunkan isteri dan anaknya. Kompak mereka berlari keluar rumah.

Setelah gempa berhenti, Ape, sapaan milenial laki laki berusia 40 tahun ini segera menuju gereja Efata. Pada isterinya, Ia berbisik lirih, “Bawa anak anak ke SMA 11”. Tiba di gereja, Ape bertemu dengan Imelda Nanulaita, pendeta perempuan yang memimpin jemaat Efata, salah satu ranting layanan Gereja Protestan Maluku.  Mata Ape mencari para relawan. Di pintu masuk gereja, Edwin Pama dan Nando Namoua berlari masuk. Sebuah kabar penting harus disampaikan ke masyarakat.

Di Ternate, lima menit usai lindu yang mengguncang Jumat dinihari itu, telepon saya terus bergetar. Banyak sekali yang menanyakan kabar. Saya memilih menelepon beberapa teman di Mayau. Nando terhubung tetapi tak dijawab. Lalu ada Edwin di ujung telepon. Suaranya bergetar ketika mengabarkan lindu itu. Saya lalu memberi tahu, kekuatan gempa 7,4 SR. Episentrumnya sangat dekat dengan Batang Dua. Tak sampai 40 km. Yang gawat, ada potensi terjadi tsunami sebagaimana peringatan dari BMKG yang terus berkedip di layar ponsel.

Meski statusnya waspada yang berati tinggi gelombang tsunami sekitar 50-60 cm, tetap ini informasi yang harus diantisipasi. Saya minta Edwin sampaikan ke semua anggota tim relawan bencana AMGPM agar membantu evakuasi warga karena ada ancaman tsunami. Belum lagi selesai bicara, di layar ponsel sudah ada panggilan dari Pendeta Donny Toisutta,  Sekretaris Klasis GPM Ternate. Kami berkoordinasi hal yang sama. “Bu ee..jangan lupa mengabarkan teman – teman relawan perkembangan terbaru,”.

Di Mayau, usai dapat kabar jika lindu 7,4 SR itu berdampak tsunami, Nando dan Edwin bergegas ke rumah warga. Di jalan mereka bertemu dengan banyak relawan lain. Lalu mereka berbagi tugas. Membangunkan warga yang masih tertidur, mengabarkan ancaman tsunami dan minta warga bergerak menuju daerah ketinggian. Semuanya serba cepat. Berburu waktu dalam suasana malam yang gelap.

Jumat dinihari itu warga Mayau, Lelewi, Perum Bersatu dan Bido seperti dikomando. Tua muda anak – anak bergegas dalam langkah dan doa. Tsunami!!. Di dalam gereja, Ape meraih microphone dan mulailah Ia memberi komando. “Bapak Ibu jangan panik, kita bergerak ke SMA Negeri 11. Yang di komplek Gudang bergerak ke Lapangan Radio. Yang kuat membantu anak anak dan perempuan, terus bergerak sesuai petunjuk relawan,” ucapnya berulang kali. SMA Negeri 11 terletak di bebukitan bagian timur Mayau. Jaraknya sekitar 400an meter. Punya lapangan luas. Lokasi ini dan jalur evakuasi sudah ditetapkan relawan jauh sebelum lindu datang.

Di ujung selatan batas pemukiman Mayau, saat lindu mengguncang. Popy Sadondang (24 tahun) terbangun. Di papah suaminya yang guru, Ia tertatih keluar rumah bersama anaknya. Di depan sudah ramai. Ada dua relawan menunggu. Sayup sayup suara Ape dari corong gereja timbul tenggelam di bawa angin malam. “Mari Ibu, kita harus ke lapangan Radio”, ajak salah satu relawan. Di temani suami dan anaknya, perempuan muda yang tengah hamil tua itu berjalan perlahan. Usia kehamilan yang berbilang sembilan bulan memperlambat geraknya. Relawan sabar memapah. Jarak rumah Popy ke titik kumpul sekitar 150 meter. Butuh 20 menit untuk tiba di lapangan itu, di sana ratusan warga sudah berkumpul. Semuanya gelisah. Panik bercampur aduk dengan ketidakpastian.

Popy bercerita jika malam itu, uluran tangan relawan sangat membantu. Ia bersyukur akhirnya tiba di lapangan Radio. Meski ancaman tsunami dicabut BMKG dua jam kemudian, ketakutan tak pernah pergi. “Pikiran saya terbagi ke anak dan jabang bayi. Malam itu saya tak bisa tidur karena  sangat khawatir,” akunya. Popy sama dengan kebanyakan warga yang sudah mendengar adanya tim relawan bencana milik Gereja, namun baru dinihari itu, kehadiran mereka jadi sangat berarti di tengah kepanikan warga.

Alex Salu (64 tahun) salah seorang pemuka adat Mayau memberi apresiasi. Kehadiran anak anak muda yang punya pengetahuan dan ketrampilan dalam menolong ini jadi pembeda. “Kami tak tahu akan ada tsunami. Mereka (relawan) yang memberi tahu, mereka juga membantu warga saat evakuasi, menghitung jumlahnya lalu minta agar kita berdoa dan menunggu hingga pagi,” kata Alex. Para relawan juga meminta warga yang ada di dua titik pengungsian agar tak percaya hoaks. Jika ada informasi lain soal gempa atau tsunami sebaiknya disampaikan ke tim relawan. Ape jadi orang terakhir yang tiba di SMA Negeri 11. Ia minta semua relawan berkumpul. Rapat sebentar lalu berbagi tugas karena situasi masih mencekam. Beberapa relawan diminta mencatat jumlah pengungsi. Edwin kebagian tugas koordinasi. Dan sisa malam itu, dering telepon dari Mayau seakan tak putus. Saya dan juga Pendeta Donny tak tidur hingga matahari bersinar.

Setiap perkembangan gempa dan situasi terkini saya bagikan. Maklum di Mayau, internet jadi barang mahal. Telepon juga tak mencover semua. Hanya di Mayau, telepon bisa berdering. Sisa tempat lainnya sunyi. Tak ada tulisan telkomsel atau tanda baris di sudut kiri ponsel. Daerah ini terisolasi. Apalagi di pulau Tifure yang berjarak 77,6 nautical mile (1 mil laut = 1.852 km) dari Ternate, telepon tak pernah ada. Tak ada jaringan komunikasi sama sekali. Makanya, setelah Mayau dan sekitarnya “terkendali”, fokus ke Tifure yang tak punya kabar berita hanya terucap lewat selaksa doa. Bagaimana kabar warga Tifure dan Pante Sagu? Moga Tuhan bersama mereka.

Batang Dua adalah dua pulau berpenghuni yang terletak di tengah lautan bebas antara Ternate dan Bitung di Sulawesi Utara. Konon nama Batang Dua berasal dari pemberian nelayan – nelayan tradisional asal Wayoli – mayoritas menghuni daerah Ibu di Halmahera Barat –  yang berburu penyu hingga ke arah utara. Mereka menemukan pulau Mayau dan pulau Tifure lalu bermukim. Makanya mayoritas penduduk Batang Dua berasal dari etnis Wayoli. Data Ternate dalam angka tahun 2019 menyebut jumlah penduduk Batang Dua sebanyak 2951 jiwa.  Mayoritas sebanyak 2128 jiwa bermukim di empat kelurahan yang ada  di pulau Mayau. Sisanya ada di pulau Tifure yang punya dua kelurahan.

Daerah ini dulunya jadi bagian dari kecamatan Pulau Ternate. Namun untuk kebutuhan pemekaran Kota Ternate di tahun 1999, Batang Dua dimekarkan jadi kecamatan sendiri. Agar syarat Kecamatan yang minimal punya enam kelurahan, Mayau dimekarkan jadi dua, Mayau dan Perum Bersatu. Mayoritas penduduk adalah nelayan dan petani.

Tentang anak anak muda yang jadi relawan bencana itu, secara institusional, GPM memang memiliki kebijakan internal untuk menjadikan mitigasi bencana sebagai salah satu program prioritas dalam Pola Induk Pelayanan (PIP) dan Rencana Induk  Pengembangan Pelayanan 2016 – 2025. “Kami punya relawan AMGPM untuk respons bencana dan sudah dilatih sejak 2012. Ini bagian dari tanggungjawab sebagai warga negara dan sesama umat,” kata Pendeta A.J.S Werinussa. Msi, Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku.

Penghujung November tahun lalu, 50 anak muda di Mayau, Bido, Perum Bersatu dan Lelewi berkumpul di gereja Efata. Mereka mengikuti pelatihan mitigasi yang menjadi bagian dari program Inisiasi Masyarakat Tangguh Bencana (ISTANA 2018). Ini program dari LSM Rorano Maluku Utara yang bekerja sama dengan AMGPM ranting Efata. Selama empat hari penuh, puluhan anak muda ini diberi pengetahuan dan ketrampilan tentang pemahaman bencana dan bagaimana meresponsnya secara benar, dasar dasar assesment dan penyusunan SOP kedaruratan hingga materi tentang Pertolongan Pertama berdurasi 8 jam. Lengkap? Belumlah. Karena di ujung pelatihan itu, kami melakukan simulasi kedaruratan untuk menguji pengetahuan dan ketrampilan yang sudah di dapat.

Pilihan Rorano melakukan program ISTANA 2018 di Mayau semata karena kebutuhan warga. Diminta anak anak muda itu yang sebelumnya terlibat bekerja sama dalam kampanye HIV dan AIDS. Letak geografis Batang Dua yang di kelilingi banyak subduksi lempeng pemicu gempa dan jarak yang jauh dari Ternate menghendaki adanya kapasitas di level lokal. Mereka harus bisa menolong diri sendiri saat gempa terjadi dan  tsunami mengancam. Kapasitas itulah yang coba ditingkatkan untuk mengatasi tingginya ancaman dan kerentanan. Gereja dalam hal ini memberi dukungan penuh dan bahkan menetapkan sebuah keputusan tentang pembentukan tim bencana AMGPM yang dilantik Februari tahun ini.

Ujian kapasitas itu adalah gempa 7,0 SR yang mengguncang Batang Dua lewat tengah malam tanggal 8 Juli 2019. Anak anak muda itu yang memberi pemahaman bahwa gempa tak memicu tsunami. Meski kepanikan menyeruak, warga tak terlalu resah. Lalu lindu jumat dinihari kemarin berkekuatan 7,4 (direvisi jadi 7,1 SR) membuat mereka terjaga dan bekerja fullday. Saat malam pergi, para relawan itu lalu mendatangi satu demi satu rumah warga, mencatat kerusakan dan korban. Dari kerja merekalah kita jadi tahu, jika lindu itu merusak belasan rumah warga, tiga gereja, satu sekolah dan juga melukai dua remaja perempuan. Semuanya di foto sebagai bukti.

Mereka juga mencatat ada empat ratusan pengungsi yang setiap malam naik ke dua titik pengungsian. Mereka trauma. Ada ibu hamil, puluhan lansia, tigapuluhan balita dan warga yang tidur berimpitan dalam dingin beratap langit. Tak ada makanan, selimut atau tikar pengalas tubuh. Mereka menolak menyerah. Ape yang jadi ketua tim relawan itu,  menyebutnya sebagai masa masa menguji iman. Setiap malam ada ibadah untuk menguatkan hati, memohon cinta dari sang  Pencipta. Di ujung semua bencana ini, anak anak muda yang relawan itu sejatinya tengah menasbihkan dirinya sebagai Garam dan Terang Dunia.

Tuhan memberkati.

Bagikan

Komentar