oleh

La Tahzan

DI malam terakhir Ramadhan, langit, bumi dan para malaikat akan menangis karena musibah mendatangi umat Muhammad. Jika pernyataan ini tak jelas sumbernya, bolehlah diabaikan. Anggap saja rasa sedih yang terungkap di media sosial adalah kegalauan sintesis. Sementara sifatnya, karena begitu lebaran tiba, kemeriahannya menghapus duka. Namun ikhtiar ini dikatakan baginda Nabi. Para sahabat pun kompak bertanya, musibah apakah itu ya Rasulullah?. Nabi menjawab, Ramadhan akan pergi. Di bulan mulia ini semua doa doa diijabah, sedekah diterima, kebaikan dilipatgandakan dan siksa dihapus. Subhanallah.

Ramadhan sebagaimana datangnya, hanya diperuntukan bagi orang orang yang beriman. Kewajiban ini menjadi seleksi komitmen untuk beribadah hanya pada Allah SWT. Banyak keutamaan Ramadhan yang telah dipublikasi mulai dari pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka, terbukanya pintu surga, peluang meningkatkan taqwa hingga turunnya Al quran.

Rasulullah bersabda, “Orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan, ketika berbuka Ia gembira karena berbukanya, dan ketika menghadap Rabbnya, Ia bergembira karena puasanya”.

Puasa dan Al Quran juga memberi garansi berupa tiket syafa’at di hari kiamat nanti. Saat semua anggota tubuh dan perilaku di dunia dimintai pertanggungjawaban, kita butuh pembela yang mewakili. Pada moment inilah, puasa berkata, “Wahai Rabbku, aku telah menahannya dari makan dan minum serta syahwat di siang hari maka berikanlah syafa’at kepadaku untuknya”. Al Quran tak mau ketinggalan dan berkata, wahai Rabbku, aku telah menahannya dari tidur di malam hari, maka berikanlah syafa’at kepadaku untuknya. Lantas keduanya memberi syafa’at kepada hamba tersebut. Siapakah dia? Hamba yang konsisten beribadah, menjalankan semua perintah Allah karena iman dan penyerahan diri dalam kesadaran hakiki bahwa puasa hanya untuk Allah. Hamba yang berpesta Al quran sepanjang malam malam Ramadhan, membacanya dengan hati dan mengamalkan bacaan itu dalam hidup keseharian.

Karena itu, ketika Ramadhan pergi, hanya orang beriman yang menangis sedih. Bukan mereka yang berpura pura menangis. Pura pura mencintai Allah tetapi dalam prakteknya tak ada rasa takut pada Allah.

Sebulan penuh, Ramadhan memberi banyak kemewahan. Kita sedih bukan karena kemewahan itu yang berakhir namun karena dua ketakutan. Yang pertama sebagaimana Ibnu Rajab Al Hambali menuliskannya, bagaimana bisa seorang mukmin tidak meneteskan air mata saat berpisahan dengan Ramadhan, sedangkan ia tak tau apakah masih tersisa umurnya untuk bertemu lagi (dengan Ramadhan).

Ketakutan kedua adalah apakah kita masih konsisten untuk menjalankan semua perintah Allah tanpa kecuali.

Sepanjang Ramadhan, jangankan saf saf dalam mesjid, parkiran untuk mereka yang memilih shalat ke mesjid penuh sesak. Bahkan seperti berlomba datang ke mesjid membawa mobil, parkir sesukanya hingga mengganggu jalanan, itikaf bermalam malam, murah senyum, tidak bermusuhan, tangan rajin bersedekah, tadabbur tanpa jeda. Apakah ketaatan ini akan selamanya bertahan usai Ramadhan?.

Dalam banyak kesempatan, ketaatan itu berbilang tipis. Bahkan seperti ada anggapan, nantilah ibadahnya diperbanyak lagi saat Ramadhan berikutnya. Masya Allah.

Sejatinya, ada tiga perkara penting yang harus diupdate secara kontinyu usai Ramadhan. Pertama, dengan terlatih sebulan penuh, alangkah indahnya jika ketaatan beribadah hanya pada Allah SWT akan terus terjaga sepanjang usia. Rasulullah SAW mengingatkan, antara shalat yang lima waktu, antara jumat ini ke jumat berikutnya, antara Ramadhan tahun ini ke Ramadhan tahun depan, diantara amalan amalan tersebut akan diampuni dosa dosa selama seseorang menjauhi dosa dosa besar.

Yang kedua, konsistensi berbagi. Ramadhan memberi ruang yang sangat besar untuk melihat kehidupan di sekitar kita. Bersedekah membantu mereka yang tidak berkecukupan, anak yatim, fakir dan sesama saudara yang tengah didera musibah sejatinya jadi pengingat akan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Ummatan Wahidah. Dulu di kampung kami, setiap Ramadhan, ada tradisi saling mengantar makanan berbuka. Bertukar bahagia antar tetangga. Kini tradisi itu lenyap. Kita secara sengaja membangun pagar individualitas dan hedonisme sebagai pemisah. Silaturahmi jadi trending topik dalam kemasan buka puasa bersama dll, tetapi usai Ramadhan, perjumpaan kita hanya sebatas dunia maya.

Saya membaca kisah muslim Palestina yang berpuasa di tengah kekurangan dan ancaman kematian akibat perang. Menurut Syech Muath Alamaoudi, seorang ulama Pelestina, setiap Ramadhan datang, keluarga muslim Palestina harus memilih apakah menyantap makanan saat berbuka atau saat sahur. Hanya sekali makan karena sulit mendapatkannya. Mereka dalam kekurangan tetap menjalankan puasa dan saling membantu. Jika ada keluarga muslim yang kehabisan makanan karena blokade Israel, mereka akan berbagi walaupun jatah makan makin berkurang. Bandingkan dengan kehidupan kita yang mungkin jauh di atas kecukupan. Sudahkah kita berbagi?

Ketiga, Ramadhan dengan segala kemuliaannya mestinya juga mewariskan semangat ukhuwah dan ikatan kemanusiaan. Kita bersama beribadah selama sebulan, shalat bersama, tadarusan bersama, itikaf bersama. Tradisi ini harusnya jadi big capital untuk terus mempererat ikatan dan persaudaraan sesama muslim. Lalu secara kaffah kita menjadi pengingat bagi umat yang lain dalam konteks kemanusiaan. Berhentilah menyebar hoaks, memaksakan kehendak dengan kekerasan, menjustifikasi orang lain salah dan kita paling benar, menyebar kebencian dan perilaku buruk lainnya. ” Bertaqwalah kepada Allah dan perbaiki hubungan di antara sesamamu” ( An Anfal 8)

Ramadhan telah pergi. Para ahli salaf biasanya memanjatkan doa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan bermohon agar Allah menerima semua amalan mereka selama Ramadhan. Artinya, ada aspek sustainabilitas antara ketauhidan dan perilaku sosial saat Ramadhan berakhir hingga Ramadhan berikutnya berkunjung. Apakah dipertemukan lagi atau tidak, kita mestinya tak merubah perilaku Ramadhan dalam kehidupan kekinian.

Zainal Abidin Al Sajjad, cicit Rasulullah SAW memberi sebuah ikhtiar dalam seuntai doa, “ya Allah.. Janganlah Engkau jadikan puasa kami sebagai puasa yang terakhir dalam hidup, sekiranya ini puasa terakhir, jadikanlah sebagai puasa yang dirahmati. Jangan Engkau jadikan sebagai puasa yang hampa”.

Jangan bersedih, karena Allah bersama Kita ( At Taubah 40).

Taqaballahu minna waminkum

Minal Aidin Wal Faizin

Ied Mubarraq 1440H

M.ASGHAR SALEH,SE,ME

POLITIKUS PARTAI NASDEM

Bagikan

Komentar