(Catatan dari Sejarah Perjuangan Pemekaran Provinsi)
BAGIAN I
Saya menulis ini dengan harapan, kenangan tentang tindakan yang dilakukan banyak orang, di rentang periode yang panjang, tak lekang oleh jaman, dan menjadi pengingat, bagaimana sikap heroik dalam rentang yang panjang, seakan bersambung antar generasi. Sebuah cita-cita, dan sejumlah aktor yang mengilhaminya—yang sebagian saat ini dilupakan—semoga membuka akal pikir kita, bahwa kita, di negeri ini, adalah orang-orang yang cepat melupakan sejarah. Kendati saksinya masih hidup, banyak dari kita suka menulisnya atas dasar suka dan tak suka. Menghilangkan catatan penting, mengubur artefak penting, agar kepentingan pribadi atau kelompok menjadi abadi.
Pada hari ini beberapa perdebatan memaksa saya membaca kembali catatan Herodotus dari Halicarnassus, The Histories, yang memuat kisah panjang Yunani dan Timur Tengah di era kuno. Kisah gemilang dan kelam, ditulis apa adanya. Sebuah karya monumental yang abadi, tentang sejarah dunia yang gemilang, ribuan tahun lalu.
Langkah ini saya lakukan sehubungan dengan sejarah perjuangan provinsi Maluku Utara, yang ditulis sejumlah akademisi dari Universitas Khairun Ternate, menuai protes dari para pelaku pemekaran di paru terakhir, 1998 – 1999. Karya ini sebenarnya sangat baik dari aspek akademis, sayangnya banyak actor di tahun-tahun terakhir perjuangan, serta banyak peristiwa penting yang mestinya ditulis, entah karena alasan apa, tak muncul sama sekali dalam buku itu.
Sejumlah akvitis era itu marah. Tetapi yang dilupakan, itu sebuah penelitian ilmiah, kendatipun belum mampu menyajikan peristiwa secara detil. Yang perlu kita lakukan adalah menulis dan merekonstruksi kembali peristiwa masa itu dan membandingkan dengan buku hasil study akademik yang melibatkan banyak akademisi penting di universitas ternama daerah ini, yang pada era itu juga memberikan kontribusi penting lewat sejumlah mahasiswa dan dosennya yang jadi actor penting dalam sejarah perjuangan provinsi Maluku Utara.
Saya menulis ini sebagai saksi : pada era itu pernah menjadi pencatat peristiwa penting ini. Jurnalis yang bekerja di media baru bernama Ternate Post. Bangga berada di antara para pejuang muda pemekaran yang masih idealis. Menulis kisah mereka di media yang kemudian untuk atas nama perjuangan provinsi, sempat menjadi media pamphlet. Saya yang sangat menjunjung kredo media, sempat berbeda pendapat dengan pemred Rahman Lahabato dan tim lainnya. Pada akhirnya saya mengalah dan ikut dalam eforia perjuangan, dengan menulis terus untuk kepentingan perjuangan pemekaran provinsi.
Bertemu dan wawancara dengan para tokoh politik semisal Edy Hanafi, Kolonel (purn) Oetaryo, Syaiful Bahri Rurai dll, atau bertemu dan wawancara dengan Kolonel Abdullah Assagaf, Bupati Maluku Utara, adalah kegiatan rutin, selain ketemu para aktivis pemuda yang ketika itu bermarkas di Tanah Tinggi Jalan Baru, Ternate.
Pada ingatan saya, kantor Ternate Post itu saban hari, tak kenal siang dan malam, didatangi para aktivis dari berbagai latar belakang. Ada alm. Bahtiar Sibua, Alm. Anwar Ways, Sofyan Daud, Djainudin Abdullah, Basri Salama, dan Hasby Yusuf. Seminggu sekali, pasti ketua PMKRI Ternate, alm. Frans Futwembun yang pengacara, datangi kantor Ternate Post dan kami terlibat diskusi panjang.
Pada era itu, kantor kami di Toboko masih didominasi kawan-kawan yang sebagian sudah wafat. Ada alm. Sagaf Yahya, alm. Rachman Samiun, ada juga yang kini beralih profesi seperti Salhi Ode Pajali, Mohammad Ahmad, Ummuhani Oemar, dan Husen Cedek. Banyak yang memilih jalan sebagai akademisi semisal Gufran Ali Ibrahim, Herman Oesman, Murid Tonirio dan Agus SB. Banyak lagi yang masih setia di jalan “kenabian”, menjadi jurnalis di era yang sulit, ketika sosmed merajai dunia informasi, semisal, Halik Djokrora dan alm Rachman Samiun, hingga wafatnya di pertengahan tahun 2019.
Ini hanya catatan seorang juru catat, yang mencoba menuliskan kembali kisah masa itu dengan mengandalkan catatan tersisa dan ingatan yang kian lemah. Bisa penuh kelemahan, dan bukan sebuah karya ilmiah. Ini hanya catatan kecil seorang pencatat.
Bermula dari sebuah pertemuan penting di lantai III kantor Bupati Maluku Utara, menggagas pokok-pokok pikiran yang hendak dibawa para wakil daerah ke Sidang Istimewa MPR RI, tahun 1999. Sidang Istimewa yang pada akhirnya menolak semua pertanggungjawaban Presiden RI di masa transisi, BJ. Habibie.
Pada pertemuan ini, yang jadi pembicara ada beberapa orang, diantaranya Sultan Mudaffar Syah (utusan daerah Maluku di MPR RI), Syaiful Bahri Ruray, anggota DPRD Kab. Maluku Utara, Hein Namotemo (Salah satu Kabid di Bappeda Maluku Utara). Saya yang baru bergabung di Ternate Post, hanya duduk di pojokan. Di akhir acara yang harusnya adalah penjaringan aspirasi rakyat itu, Syaiful Ruray mengeluarkan pernyataan kontroversial: kenapa moment ini tidak kita pakai untuk memperjuangkan pemekaran Maluku Utara menjadi provinsi sendiri? Perjuangan ini sudah lintas generasi dan sayangnya hingga saat ini masih gagal.
Gayung bersambut. Beberapa wartawan senior seperti Rachman Lahabato dan Sagaf Yahya, langsung terprovokasi dan meneriakkan respon setuju. Pada saat itu, Bupati Maluku Utara, Kolonel Abdullah Assegaf sempat bilang ke Rahman, “Man, torang tara ada doi (Man, kita tak punya uang).” Tetapi Abdullah Assegaf didebat, “Doi torang boleh cari. Panggel kamari Bahar (maksudnya A. Bahar Andili, Bupati Halmahera Tengah) kong baku ator.”
Nah, dari sini cerita pemekaran itu bermula. Tapi pemekaran saat itu bukan tanpa rujukan. Bappeda Malut membuka data tentang potensi Maluku Utara, kalau mekar nanti. Dokumen berkaitan dengan potensi sumberdaya alam dan manusia, kondisi ekonomi, posisi strategis sebagai wilayah kepulauan yang berbatasan langsung dengan Pasifik, dan beberapa analisa lainnya dibuka. Malik Ibrahim, ketua KNPI Malut yang juga staf Bappeda Malut, menulis di Ternate Post tentang Maluku Utara dan diterbitkan bersambung, dengan judul, “Dari Sopi Ke Liftamtola.” Catatan yang menguak potensi daerah itu adalah point yang kemudian dipakai sebagai dokumen yang dikirim ke Jakarta.
Pada saat itu banyak diskusi dilakukan. Lebih banyak menyoal kenapa gerakan tahun 1950-an akhir itu gagal. Serta mengorbankan banyak putra terbaik negeri ini yang ditahan di Nusakambangan tanpa peradilan. Bahkan menyoal dana kopra 1000 ton yang dikirim ke Jakarta sebagai modal agar presiden Soekarno dapat memberikan provinsi sendiri. Sebagian bahkan mengkaji kenapa tawaran federal dari Sultan Jabir tidak diterima Soekarno-Hatta.
Dinamika ini terus berkembang, seperti gerakan mahasiswa yang juga mulai tumbuh secara signifikan di berbagai kota besar di Indonesia. Tetapi pusat gerakan tetap di Ternate. Jakarta serta Ambon menjadi titik penting karena di dua kota itu kebijakan penting pemerintahan berpusat. Sementara para mahasiswa di banyak kota besar mulai membentuk jejaring secara nasional untuk saling memberikan dukungan agar perjuangan bersama itu segera berjalan.
Pada level politik, DPRD Maluku Utara dan Halmahera Tengah mulai menggelar paripurna untuk memutuskan sikap dukungan ke perjuangan bersama. Demikian juga Pemerintah kabupaten Maluku Utara dan Halmahera Tengah, serta kota Administratif Ternate.
Dukungan terhadap langkah politik ini bermunculan dari semua kalangan rakyat. Tanpa memandang status social, politik, dan agama, hampir sebagian besar warga bergerak memberi dukungan. Tim kerja DPRD pun dibuat. Sebuah tim yang diberi nama tim 9, diberi mandate mengurus masalah ini di Jakarta.
Perbedaan dalam model otonomi seperti apa sempat mencuat. Ada dua opsi saat itu, daerah otonom biasa atau daerah istimewa. Lalu ada juga soal, apakah pemekaran kabupaten kota dulu atau provinsi yang didahulukan. Namun perbedaan itu kemudian ditepis. Saat pemerintah pusat baru mengiyakan pemekaran provinsi, para tokoh politik dan pemerintahan serta aktivis jalanan bersepakat: Yang penting ada pemekaran provinsi dulu, kabupaten kota mengikut kemudian.
Tetapi tidak serta merta prose situ berjalan mulus. Tarik ulur di level elit pemerintah pusat memaksa beberapa aktivis kemudian menggerakkan massa dalam jumlah besar, lalu keluarlah deklarasi itu, deklarasi yang didaku sebagai Maklumat rakyat Moloku Kieraha: berisi 3 point tuntutan, dengan ancaman akan menuntut referendum penentuan nasib sendiri jika pemerintah pusat mengabaikan tuntutan mereka. Banyak yang berkeberatan dengan isu yang dianggap mengancam disintegrasi bangsa itu. Tetapi tekad anak muda saat itu sudah bulat, baliho raksasa itu pun didirikan di depan kantor Bupati Maluku Utara. Lucunya, Bupati Maluku Utara yang seorang Kolonel TNI AD aktif, Abdullah Assagaf, malah mengijinkan dengan taruhan jabatan dan pangkatnya.
Perdebatan soal referendum ini kemudian membuka kisah lama, bagaimana perjuangan di masa lalu, dimotori oleh banyak aktivis Masyumi, akhirnya kandas karena tersangkut pergolakan Permesta.
Bersambung …..
Komentar